"Kalau begitu, selamat malam, Layla. Semoga mimpimu indah."
Suaranya terdengar lembut. Gadis berumur tujuh tahun yang dipanggil 'Layla' itu sempat terdiam, menatap lurus kedua mata merah pria di depan pintunya. Sebenarnya, ia masih belum terbiasa untuk mengucapkan selamat malam kepada orang lain. Apalagi, dulu ia tidak pernah berbicara dengan ayah dan ibunya, serta keluarganya. Ia bahkan tidak pernah bicara banyak ketika di rumah. Saat ia tersadar bahwa ia sudah diam terlalu lama, gadis itu memancarkan senyuman manisnya.
"Hm! Ayah juga, mimpi indah ya~" ucapnya sambil melambaikan tangan. Chander membalas lambaian tangannya dan menutup pintu kamarnya. Senyum gadis itupun pudar dalam sekejap.
Ia menghela napasnya, "Ha... capek."
Andhira berbaring di kasurnya. Ia menatap langit-langit kasurnya, teringat apa yang ia renungkan setiap malam. Makanan dan minuman favoritnya. Game, komik, anime, novel yang belum ia selesai baca atau tonton. Musik yang selalu menemaninya saat ia sedang bertugas dan bekerja.
Andhira meringkuk, memeluk kakinya sendiri. Walaupun orang-orang di sini menyambutnya dengan hangat, ia tidak bisa menerima kehangatan itu begitu saja saat ia memikirkan kemungkinan bahwa ini adalah mimpi.
Aku gak boleh terbiasa sama kehidupan di sini. Kalau aku terbiasa... aku gak bakal bisa selamat kalau misalkan aku pulang.
Agar ia tidak menjadi gila karena terlalu lama tinggal di mimpi ini, ia selalu mengingat kehidupan lamanya. Sebenarnya, Andhira sendiri tidak tahu dari mana mimpinya dimulai. Apakah itu dimulai saat Zara mengajaknya berjalan-jalan? Mendorongnya? Atau... semua ini bukan mimpi?
Andhira tidak tahu. Jika ia boleh jujur, ia sudah lelah untuk melanjutkan hidup di dunia ini. Seharusnya, para pahlawan di game ini akan menyerang istana ini, serta membunuh orang-orang yang sudah menginjak kerajaan ini. Tidak ada seorangpun yang tersisa.
Jika ini bukan mimpi, bisa saja ia ikut terbunuh.
"Nggak... ini... mimpi."
Selama penyihir bernama 'Shahnaz' itu tidak muncul, ia tidak akan mempercayainya.
"Menyedihkan."
"Iya... aku emang men... eh..?" Andhira membuka matanya perlahan.
Ia terbangun dari posisi tidurnya, duduk di atas kasur sambil memeluk bantalnya. Ia menengok ke arah kirinya, dimana suara itu berasal. Andhira pun melihat pria bersurai pirang di sampingnya. Manik merahnya terlihat bercahaya di kamarnya yang gelap ini. Ia membuka mulutnya, hendak berteriak. Tetapi, sebelum ia bisa melakukan itu, mulutnya ditutup oleh telapak tangan pria itu-- mendorong tubuhnya ke kasur untuk berbaring lagi.
"Kamu menyedihkan, Tuan Putri Layla."
Andhira menggenggam tangan pemuda itu-- berusaha untuk menyingkirkannya. Tetapi, sepertinya hal itu mustahil untuk anak kecil berumur tujuh tahun. Kadua manik birunya terbuka lebar-- mencerminkan manik merah pria di atasnya.
"Ah, jangan takut. Saya bukan pahlawan, maupun pembunuh bayaran. Saya mungkin satu-satunya orang yang akan menjadi teman anda?"
Setelah mendengar pria itu berbicara dari dekat, Andhira bisa merasakan bahwa suara pria ini tidak asing. Tidak, seingat Andhira, pria ini tidak ada di dalam game. Kalau dia ada, pasti dia sudah menjadi salah satu target yang harus ditaklukan oleh protagonis. Bagaimanapun juga, wajahnya terlihat tampan.
Nggak, nggak. Kenapa aku mikir gini? Dia cuma karakter fiksi!
"Saya datang ke sini untuk memberi anda saran. Ah, bukan saran. Mungkin, lebih ke peringatan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Her Plain Wish
Fantasy[ORIGINAL] Cerita ini murni buatan Author, iris_0710 dan bukan novel terjemahan. Arc 1: "The Truth" Seorang gadis yang memiliki banyak penyesalan dalam hidupnya, tiba-tiba terlahir kembali di dunia yang ia kagumi, Dunia Game. Dunia fantasi yang sela...