07. My First Lie

9 1 0
                                    

Layla mengingat kehidupannya dengan pasti. Kehidupan dulunya, yang begitu menyedihkan serta penuh dengan penyesalan. Ia berharap bahwa kehidupan lamanya tidak akan terulang lagi.

Gadis bersurai perak itu terdiam. Matanya yang bundar berwarna biru langit menatap kamar dengan kasur paling besar dan lega yang pernah ia lihat. Di sampingnya, pria bersurai hitam tersenyum-- Layla dapat merasakan tatapan pria itu. Tadi Rigel mengajaknya sarapan, tapi disinilah dia. Melihat kamar besar, entah milik siapa.

"Layla. Mulai sekarang, ayah akan berusaha untuk meluangkan waktu agar kita bisa sarapan bersama. Apa kamu keberatan?"

Layla menoleh ke samping. Melihat sang penguasa malam yang menunjukkan matanya yang berbinar-binar, Layla menautkan kedua alisnya. Meski mulutnya ingin tersenyum, tetap saja tidak bisa. Apakah raja kegelapan ini sangat ingin makan bersamanya? Karena Layla merasa tidak enak (entah mengapa) jika menolaknya, jadi ia pun mengangguk.

"Hm. Saya... akan menuruti permintaan Yang Mulia."

"Kalau begitu, mari kita ke ruang makan."

Terus ngapain kamu nunjukkin kamar megah ini? Tanya Layla dalam hatinya.

"Ah. Kamar ini milik-- siapapun itu, kamu tak perlu mengetahuinya. Cukup ingat saja kalau di kamar ini ada banyak gaun indah yang bisa kau pakai, Layla."

Matanya berkedip beberapa kali. Layla pun berusaha memasang senyuman lebar. Bagai langit yang disinari mentari, matanya bersinar. "Baik, pa-- yang mulia."

Layla menutup mulutnya setelah menjawab Chander. Ia hampir saja memanggil 'papa' padanya. Mungkin, bertahun-tahun tinggal disini sudah membuat ia menjadi naif, pikirnya. Lagipula, waktu ia masih berumur lima tahun, ia sering memanggilnya 'Papa' bahkan hingga membuat dirinya sendiri lelah. Tujuh tahun ia tinggal disini bagai mimpi buruk. Ia tidak ingin mengingat kenangan dimana ia bermain ayah-anak dengan Chander.

Mau dipikir berkali-kali, tokoh ini memang bodoh karena membuang waktunya untuk mengurusku. Padahal, para pahlawan sudah siap untuk menyerang istana ini.

Orang yang dipanggil "yang mulia" oleh Layla pun mendekatinya. Mata birunya menatap dengan penuh tanya. Tetapi, pria itu menebas semua rasa penasaran Layla dengan senyuman indah. Yang tidak mungkin tokoh antagonis miliki. Tanpa Layla sadari, kedua tangannya sudah memegang pinggang kecil Layla. Rambut peraknya beterbangan ketika tubuh kecil itu diangkat. Manik Layla bercahaya--

"Hmm? Kemana Layla-ku yang kemarin dengan lancang memanggil ayahnya sendiri dengan nama?"

Gah! Jadi tokoh ini inget, toh!?

Benar sekali. Kemarin, saat Layla bangun, Chander sedang duduk di ujung kasurnya. Beliau tersenyum saat melihat Layla perlahan membuka matanya, yang kini mengusap matanya. Saat itu juga--

"Hm. Aku malah mimpiin Chander yak."

Mendengar kalimat yang diucapkan oleh anaknya sendiri, Chander menjatuhkan buku yang cukup tebal dari tangannya. Suara keras buku menghantam lantai dapat membuat Layla menyadarkan dirinya yang tadi mengigau. Tidak lama kemudian, ia dapat mendengar suara tawaan-- tawaan indah juga manis yang pernah Layla dengar. Tidak seperti keluarganya yang dulu, raja itu tersenyum tanpa ada niat buruk. Hanya ingin tertawa saja-- itulah kesan Layla terhadap tawaannya.

Saat sadar bahwa ia sudah menatap Chander terlalu lama, Layla pun merapihkan rambutnya dengan tergesa-gesa. Mulutnya ingin berkata, namun tak ada suara yang keluar darinya. Tak lama kemudian, ia dapat merasakan telapak tangan yang lebih besar darinya, sedang mengelus rambut peraknya. Saat itu, entah mengapa Layla berani untuk menatap mata Chander.

Ketika ia melakukannya, mata Chander mencerminkan kesedihan. Matanya sedikit berkaca-kaca. Bibirnya tersenyum tipis. Rambut hitamnya berkilauan disinari sinar bulan.

Her Plain WishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang