1. Evander Theodore Winston

42 4 0
                                    

"Ada kunjungan ke luar negeri Evan?" tanya seorang pria dengan pakaian santai kepada pria lainnya dengan pakaian formal yang dipanggilnya Evan.

Dan pria yang dipanggil Evan itu menoleh, dengan wajahnya yang tetap dingin dan terlihat serius, "Nggak ada."

Ya. Begitulah. Singkat, padat, dan menyebalkan. Mungkin itu adalah tiga kata yang akan terlintas di benak banyak orang ketika mendengar Evan berbicara. Sama sekali tidak ada yang bisa diharapkan dari pria dengan watak dingin sedingin kulkas itu.

"Bisa dong ikut gue besok," ujar pria tadi yang spontan membuat Evan kembali menoleh namun kini tanpa mengatakan apapun dan hanya memberikan gesture menaikkan sebelah alisnya saja.

"Kebetulan besok gue dapat undangan untuk hadir di rapat pemegang saham salah satu perusahaan yang udah berhasil lo akuisisi. Dan karena kayaknya Gaby besok nggak bisa datang, jadi gue datang sama lo aja," jelas Viktor yang membuat kening Evan mengerut tidak paham sekaligus tidak suka.

"Biasa juga pergi sendiri," ucapnya singkat tanpa sama sekali berusaha menyembunyikan nada penuh ketidaksukaan yang keluar dari bibirnya itu.

Dan intonasi serta ekspresi yang ditampilkan oleh Evan itulah yang membuat Victor mendengus, sebal dengan kelakuan adiknya yang sepertinya berada di suhu di bawah nol. Super dingin, "Lagi nggak ada yang bisa diajak buat pergi besok, Victor! Kebetulan Manuel lagi ada kegiatan ya nggak bisa ditunda ataupun di reschedule. Lagian lo kan juga tinggal ikut aja. Biasanya juga nggak apa-apa kan?"

Pertanyaan Victor itu membuat Evan menggeleng dan menaikkan kedua bahunya, "Tanya sama Tian."

Lagi-lagi Victor harus dibuat bersabar mendengar penuturan Evan ini. Apa apaan tanya Tian? Memang kalau keluar dengan saudaranya harus lapor dan menanyakan schedule terlebih dahulu kepada asisten pribadi Jordi itu, batin Victor dongkol.

"Aelah, ribet amat deh. Gue kalau lagi ada ngisi di satu acara aja lo ajak pergi sama sekali nggak ribet," gerutu Victor sembari membawa profesinya yang memang merupakan seorang public figure papan atas. Yang bahkan bisa me-reschedule jadwalnya dengan mudah. Jauh lebih mudah daripada Evan setidaknya.

"Kalau emang mau ajak pergi tanya sama Tian. Siapa tahu Adek lagi ada keperluan untuk meeting sama para investor waktu itu. Karena nyocokin jadwal Adek sama jadwal mereka itu susah banget jadi nggak mungkin untuk di reschedule lagi," Evan akhirnya menyerah dan berkata panjang lebar untuk menjelaskan kepada Kokonya.

"Owalah, jadi sama yang kemarin dari Belanda itu jadi? Gue kira karena kemarin kalian berdua sama sama nggak puas sama harganya jadi nggak deal," ujar Victor yang dibalas senyum kecut Evan. Tanpa merasa perlu mengatakan apapun lagi.

Begitupun dengan pria yang merupakan kakak sulung Evan itu, Victor melenggang pergi dari ruang keluarga ke lorong untuk bisa meraih salah satu interkom yang memang terpasang di setiap sudut rumah adik bungsunya ini. Tangannya dengan begitu lihai memencet tombol 4 yang merupakan speed dial yang terhubung langsung ke kamar Tian, asisten pribadi Evan.

"Tian, sini ke ruang keluarga. Jangan lupa bawa tab yang biasanya lo pakai buat nyusun jadwal Evan. Gue ada perlu buat otak atik jadwal Evan," ujar Victor kepada Tian yang kemudian langsung memutuskan sambungan interkom diantara keduanya.

"Uncle! Liat I bawa apa!" seru seorang gadis kecil dengan begitu antusias sembari menunjukkan tangan kecilnya kepada Evan.

Hal itu spontan membuat Evan menoleh dan mendapati keponakannya, Thalia sedang berlari bersama dengan adik bungsunya, Nicole. Sembari membawa entah benda apa di tangannya yang kini sedang ditutupi.

"Bawa apa?" tanya Evan, berusaha melembutkan ekspresi dan juga intonasinya. Walau sebenarnya untuk hal suara, perbedaan yang timbul lumayan sedikit. Setidaknya untuk hal ekspresi, pria itu bisa menguasai dan tidak menakuti keponakannya dengan membuat wajah serius andalannya.

"Butterfly!" seru Nicole yang ikut ikutan heboh dengan hewan yang rupanya adalah kupu-kupu itu. Dengan antusias bocah 3 tahun itu menunjuk nunjuk tangan Thalia dan mengarahkannya kepada Evan.

"Wow! Dapat dari mana?" respon apalagi yang bisa ia berikan selain berpura-pura terlihat antusias dengan apa yang sedang Thalia bawa saat ini.

"Tadi ada yang masuk ke dalam rumah you, Uncle! Koko Manuel yang bantu I buat tangkepin," ujar Thalia heboh sembari terus berusaha menutup kedua tangan kecilnya supaya kupu kupu putih yang malang itu tidak keluar dan terbang lepas dari tangannya.

"You cannot do that, Ci. Biarin kupu-kupunya terbang bebas karena dia pasti lagi dicariin sama keluarganya. Nanti mereka malah sad lagi karena salah satu anggota keluarganya nggak bisa ketemu," ujar Evan yang kali ini tanpa dibuat buat.

Pria itu berhasil, tanpa berusaha keras, membuat dirinya terlihat natural dan tidak menakutkan untuk keponakannya. Terlihatlah Evan dengan kesan yang lebih santai dan tenang jika dibandingkan ketika pria itu berbincang dengan Victor.

"Tapi I like it, Uncle," ujar Thalia menampilkan wajah sedihnya. Terasa tidak rela kalau dirinya harus melepaskan hewan yang sudah ditangkap dengan susah payah oleh sang Koko.

"Nanti Uncle cariin you mainan yang bentuknya mirip sama kupu-kupunya. Sekarang you sama Nicole lepasin ya. Biar nggak tersiksa binatangnya. Kalau mau lihat aja gapapa, asal jangan disentuh atau ditangkap sembarangan. Okey?" ujar Evan lembut yang membuat Thalia menghela napas.

Walau enggan tapi akhirnya gadis kecil itu mengangguk dan menyetujui penawaran Evan. Sebelum akhirnya melangkah dengan wajah lesu dan lunglai keluar dari sana untuk kembali ke teras untuk melepaskan kupu-kupu itu.

Tidak lupa dengan si bungsu Nicole yang sebenarnya tidak terlalu paham tapi ikut lemas dan membuntuti langkah sang Cici.

Victor yang baru kembali bersama dengan Tian menatap kedua putrinya yang keluar dari ruangan dimana ada Evan di dalamnya dengan lemas dan tidak bersemangat itu.

"Lo apain itu anak gue dua duanya sampai pada lemes kaya gitu?" tanya Victor yang membuat perhatian Evan yang sudah fokus kepada handphone di tangannya kembali terpecahkan dan menoleh menatap sang Koko.

"Pada iseng. Nangkap kupu-kupu Adek suruh buat lepasin," ujar Evan yang rupanya sudah kembali ke mode dingin kulkas dua pintunya dan membuat Victor mengangguk paham.

"Oke! Gue udah nanya Tian. Tian, jelasin ke Evan!" titah Victor yang membuat Tian seketika mengangguk dan mulai maju sembari menyalakan tablet yang ada di tangannya.

"Oke, Pak. Tuan Evan bes-" "Ini rumah, Tian. Bukan kantor," Sela Evan yang belum apa-apa sudah dibuat kesal oleh Tian.

"Ehm, oke. Mas Evan. Besok Mas Evan tidak punya jadwal untuk pertemuan dengan klien diluar perusahaan, Pak. Jadi kalau besok mau ada schedule lain yang nyempil masuk masih bisa. Karena mulai minggu depan juga Mas Evan akan sangat disibukkan dengan proses akuisisi perusahaan dan mutasi beberapa karyawan, jadi yang bisa free cuma sampai hari Jumat saja," ujar Tian panjang lebar yang membuat Victor mengangguk puas.

Lain dengan Evan yang menghela napas melihat sang Koko yang kini menatapnya dengan wajah mengejek penuh kemenangan.

"Oke, makasih Tian."

‐1st chapter-

Haloo! Selamat datang di cerita pertama yang aku publish setelah beberapa tahun cuma update kadang-kadang, hehe. Semoga kalian semua pada suka sama cerita aku yaa. Feel free to leave any comments or suggestions guys!!

Kekasihku Sang Tuan MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang