[Ministory] [Selesai] Seringai teduh nan manis yang jika ditatap 'kan mengundang musibah dan jika dibalas senyuman lagi maka terancamlah nyawa orang tersayang.
Benar. Ini tak masuk akal. Tapi diri siapa sadar? Dia telah kehilangan semesta.
"Jangan s...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bila ditanya, kapan berakhir?
Tentu saja Anna menjawab, 'Semua sudah berakhir.'
Satu-satunya yang dia miliki, sudah hilang malam ini. Seungmin telah dimakamkan dekat rumah sakit stasiun kereta.
Yang di dapat dari perjalanan menuju desa siang tadi, bukan secangkir minuman barang obat berjaga semalam suntuk. Melainkan obat tidur yang kekal.
"Anna, apa ini mimpi?" gumamnya memandang diri, pada pantulan cermin kecil.
Serangga bersenandung dengan kukila malam, hadirnya menjadi latar Anna dengan bayang wajah orang-orang tercintanya yang sudah menghilang.
Di antara sosok kehilangannya, terselip sekejap senyum Jeongin di sana.
Seseorang yang dia yakini masih ada, yang baru saja menemaninya mengisi awal hari hingga langit menderang.
Tapi perlahan, Jeongin melebur dan tergentikan oleh Felix.
"Huh." Anna mendengkus kasar.
Bagaimana dia bisa tertidur lelap bila pikirannya sepenuh ini?
Tepat tengah malam, Anna menutupi wajahnya dengan selimut. Ingin sekali raganya tertidur, tapi bayang-bayangnya semakin mericuh.
"Jeongin membuat mantra sihir dengan mata dan senyum, sebab mantranya adalah dirimu."
"Jika kamu tersenyum karena senyumannya. Maka sihirnya akan membunuh orang-orang terdekatmu."
Tiba-tiba suara Felix terdengar dalam batin Anna, ketika mereka bertemu untuk yang kedua kalinya beberapa hari lalu.
Sebelum berpisah dengan Jeongin siang tadi, dia tersenyum karena Jeongin menghiburnya.
Anna tidak lagi kesal dengan ajakan Seungmin begitu Jeongin— membujuknya—tersenyum.
Dan setelah keduanya pulang, Anna pergi menuju desa bersama Seungmin. Kakaknya meninggal tanpa sebab yang jelas ketika kereta berhenti.
Luka-luka yang ada di tubuhnya dan detak jantung yang muncul-menghilang kemudian muncul kembali, tak tergambar bagaimana sebabnya.
Jadi, apakah Seungmin terluka karena sebab mantra Jeongin? Sihir itu membunuhnya karena dia dekat dengan Anna, dan keduanya sempat saling tersenyum sebelum kecelakaan itu.
"Ya Tuhan, tidak mungkin," desisnya gersang. Anna merasa nafasnya semakin panas.
Apa mungkin ucapan Felix benar? Anna semakin bimbang, karena bila diteliti baik-baik. Hal ini cukup masuk akal.
Waktu berlalu, Anna masih berjaga. Dia meraih ponselnya yang dipenuhi banyak notifikasi panggilan. Cukup tercengang, nama Felix ribuan kali muncul di sana.
"Halo? Felix?"
Anna mencoba menghubunginya balik, meski jam sudah menunjukan pukul satu pagi.
"Anna? Bagaimana keadaanmu? Astaga. Aku terjaga semalaman hanya demi menunggu panggilamnu, kau tahu? Kak Seungmin meninggal karena sihir Jeongin, sama seperti Han dan Chaeryeong ...."
Begitu mendengar suaranya. Anna mengulum bibir, menangis kembali.
"Hey, masih menangis rupanya? Bagaimana jika aku datang ke rumahmu sekarang?"
Anna menggeleng, mengusap pipinya. "Hari masih gelap, Felix. Bagaimana jika ada bahaya di luar sana yang mengancammu?"
"Tak apa, rumah kita berdekatan. Kamu lebih mengkhawatirkan daripada aku."
Panggilan dimatikan tanpa aba-aba, Anna meringkuk menunggu wira yang mengaku akan datang.
Benar saja, Anna terbangun begitu ketukan pintu berbunyi. Membuka kunci perlahan, membukanya hingga dia bisa melihat tubuh Felix yang tegap di sana.
Anna melingkari tangannya—merasa lemah, kemudian lagi-lagi menangis. Untung saja, perumahan tengah sepi dalam waktu ini.
"Felix ... aku ... baru percaya ... dengan ucapanmu," sesalnya sedikit demi sedikit.
Tangan wira menghangat, membungkus tubuh Anna sembari tersenyum tipis. "Syukurlah, aku senang mendengarnya. Maafkan aku yang tidak bisa menolong kakakmu."
Melepas pelukan. "Tidak, tidak apa-apa," sergah Anna.
"Masuklah, di luar dingin."
Keduanya berdiam diri di ruang tengah, sambil meminum secangkir teh hangat masing-masing.
Beradu dengan suasana malam yang jarang mereka rasakan, berharap keduanya terangsang kantuk kemudian beristirahat seiring dengan percakapan kecil mereka.
"Felix."
"Iya?"
"Apa aku harus keluar sekolah? Agar tidak bertemu lagi dengan Jeongin?"
Menyimpan cangkirnya, Felix bersandar pada sofa. "Kamu tidak boleh putus sekolah."
"Tapi aku tidak mau bertemu dengannya lagi," tunduknya.
"Selama kamu tidak memandang wajahnya ketika dia sedang tersenyum. Maka tidak akan terjadi apa-apa, Anna."
Hening sekejap.
Anna mengusap kepalanya. "Bagaimana jika tidak sengaja? Jeongin sangat mudah tersenyum, bahkan saat dia tidak bahagia sekalipun."
"Hindari dia sebisamu. Nanti akanku jemput sepulang sekolah."
Melirik gundah, Anna menimang dengan berat. Terbesit dalam sekilas, wajah Seungmin dalam hatinya lagi.
"Kamu orang yang sudah dekat denganku, Felix. Kuyakin selanjutnya sihir itu akan berpihak padamu. Sebisa apapun itu, aku takut akan senyuman Jeongin bila bertemunya."
"Tunggu."
"Ada apa?"
"..."
"Apa itu maksudnya, kamu takut aku mati?" Felix menatap Anna, menaruh netranya pada kilau manik sang putri.
Dengan menepuk pundaknya, Anna menyela. "Itu sudah jelas! Kamu satu-satunya yang kupunya sekarang."
Karenanya, Felix berseri tipis. "Ah, yang benar saja."
"Hey? Kamu merasa tersanjung dengan ucapanku ya?"
"Tidak, siapa bilang?"
"Wajahmu memerah."
Felix menggeleng. "Hari ini kamu bisa beristirahat, tidurlah sepuasnya. Besok, aku yang akan mengantarmu. Pokoknya, kamu harus sekolah."
"Yah, Felix. Kamu seperti Kak Seungmin jika memaksaku."
"Aku bisa menjadi penggantinya untukmu."
"Kamu? Menjadi kakakku?"
"Bukan, aku hanya oknum untukmu."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.