Bab 2 Doughnut

3 0 0
                                    

Keesokan harinya, Bastian dan Rahel pergi sekolah seperti biasanya. Bastian yang masih duduk di kelas 9 SMP sedangkan Rahel masih duduk di bangku SD kelas 6. Begitu masuk ke dalam kelas, Bastian langsung mendapatkan perhatian semua orang di kelas itu berkat wajahnya yang membengkak.

Tanpa menghiraukan tatapan mata yang melihatnya, Bastian langsung duduk di bangku nya yang berada di sebelah jendela di belakang dan langsung mengeluarkan buku paket bahasa Indonesia.

"Hei!" Panggil seorang anak laki-laki yang duduk di depan Bastian.

"Wow, kenapa muka mu itu?" Tanya anak laki-laki itu tampak terkejut dengan luka di wajah Bastian.

"Tidak ada apa apa. Hanya terjatuh." Jawab Bastian pelan sambil membuka buku paket bahasa Indonesia itu.

"Sepertinya itu bukan karena terjatuh. Apa kau ikut tawuran?" Tanya nya lagi penasaran karena Bastian adalah anak pendiam di dalam kelas. Dia tidak percaya temannya itu akan membuat onar hingga terluka.

"Tentu saja Tian tidak akan melakukannya." Sahut anak lelaki lain yang baru datang lalu duduk di sebelah Bastian.

"Kau tahu bagaimana ayahnya Tian kan Bud? Kalau Tian sampai tawuran mungkin dia akan di coret dari KK hahaha.." Tambahnya sambil tertawa.

"Benar juga kau Bon. Bapaknya Bastian kan galak bener. Aku pernah main ke rumahnya waktu ibunya Tian masih di rumah sakit. Dia pernah kasih aku ceramah sejam karena aku duduk bersila di sofa aahaha.." Sahut Budi.

"Yahh ayahku memang keras." Kata Bastian setuju dengan apa yang di katakan kedua temannya itu.

"Hah! Jangan-jangan... muka mu begini karena bapak mu?!" Kata Bona terkejut setelah menyadari sesuatu.

"Eiii... tidak mungkin lah. Benar kan, Tian?" Tanya Budi tidak percaya sambil melirik ke Bastian. Bastian hanya diam saja sambil melihatke luar jendela.

Melihat kelakuan Bastian yang tidak membantah perkataan Bona mengenai luka di wajahnya, Bona dan Budi langsung diam karena mereka sudah mengetahui kenapa ada luka bengkak di wajah Bastian.

"Yahh... orang tua memang begitu kalau sudah marah. Sabar saja yah Tian." Kata Bona menghibur sambil menepuk pundak Bastian.

"Iya sudah tahan saja. Toh kamu juga tidak akan di usir kan dari rumah." Tambah Budi.

"Tapi, sepertinya aku akan di usir sebentar lagi." Kata Bastian tiba-tiba. Lalu, ketiga anak lelaki itu langsung terdiam canggung. Bona langsung memukul Budi yang membawa topik sensitif itu.

"Aduhh..." Kata Budi kesakitan.

"Kalau kalian jadi aku, apakah kalian akan ikut dengan keputusan orang tua atau menjalani hidup yang kalian ingin kan?" Tanya Bastian kepada kedua temannya itu.

"Hmm.. kalau aku, sepertinya aku akan mengikuti jejak ayahku sebagai pengacara. Aku rasa akan lebih aman kalau hidup di jalan yang sudah di tentukan." Jawab Bona santai.

"Kalau aku, aku ingin hidup seperti ini saja. Mengalir tanpa ada paksaan. Karena aku sudah bahagia. Punya teman-teman yang baik, bisa bersekolah, bisa bermain, punya tempat tinggal dan keluarga." Jawab Budi sambil tersenyum.

"Aku iri pada kalian berdua yang sudah menentukan jalan hidup kalian. Kalian terlihat bercahaya dan keren." Kata Bastian sambil tersenyum setelah mendengar jawaban Bona dan Budi.

Mendengar pujian dari Bastian, wajah Bona dan Budi langsung memerah dan salah tingkah.

"Tapi, sebenarnya kamu lebih keren dari kami. Kamu bisa berusaha hidup di jalan yang kamu inginkan terlepas dari paksaan orang lain." Kata Bona sambil memeluk pundak Bastian.

Slice Of HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang