"Kamu tadi berantem sama Siti?!" Mama membuka pintu kamarku tanpa mengetuknya terlebih dahulu.
Aku yang sedang memeriksa pesan masuk kemudian menoleh ke arah pintu di mana Papa juga ada di sana. Mama terlihat marah dan wajah Papa terlihat serius.
"Dia mulai duluan, Ma," kataku mencoba untuk menjelaskan. "Dia tumpahin minum ke celana aku, terus dia juga injek kaki aku. Padahal aku cuma diem."
Mama memejamkan matanya sejenak. Kemudian membuka matanya masih dengan tatapan tajam.
"Terus kamu bales dia? Kenapa harus kamu bales?" Mama masih bertanya dengan nada tinggi.
"Kalau nggak dibales dia bisa makin semena-mena. Dikira aku nggak berani apa?"
"Habis bales dia, sekarang kamu merasa hebat? Iya? Hebat bisa bikin orang satu kampung tahu semua!"
Aku melebarkan mata. Secepat itukah berita perkelahianku dengan Siti menyebar?
"Malu, Nduk. Kamu bikin Bapak sama Ibukmu malu, dikira nggak bisa ngajarin anak!" keluh Mama.
"Ya masa aku harus diem? Kalau dibiarin dia bisa makin semena-mena!" balasku.
"Kamu ini orang baru di sini. Dikiranya kamu itu anak kota yang nggak punya etika. Kamu nggak malu apa? Malumu itu di mana?!"
"Aku cuma bela diri aja. Lagian kenapa harus marahin aku? Aku nggak bikin dia babak belur juga!"
"Sisi, bicaranya," tegur Papa.
Aku mendengus kesal.
"Malu sama Mas Ayash, Nduk. Mukamu mau ditaruh mana?" tanya Mama kesal.
Aku masih punya muka kok. Lagian muka, muka aku ini. Yang nanggung malu juga aku. Kenapa orangtuaku ribet banget.
Aku cuma balas perlakuan Siti, supaya nggak jadi orang yang tertindas. Jadi orang tertindas itu nggak enak, mau ngapa-ngapain disepelein karena dianggap nggak punya power. Dan aku nggak mau jadi perempuan seperti itu. Apalagi kalau dianggap lemah dan nggak berdaya. Hell no!
Aku yang kesal karena dimarahi oleh Mama kemudian hendak mengabaikankannya dengan menarik selimut untuk menutupi semua bagian tubuhku. Baru sedetik menutupi diri dengan selimut, Mama menarik kasar selimutku hingga terjatuh ke lantai.
"Mama apaan sih?"
Mama makin kelihatan marah. "Lihat sekarang kamu juga sopan santunnya nggak ada!"
"Gini loh, Pak kalau anak dibiarin kelamaan tinggal sendiri nggak diawasin. Jadi liar!" Sekarang Papa kena semprot juga.
"Mama kecewa sekali sama kamu! Disuruh ini itu banyak bantahnya, kapan kamu mau nurut sama Ibukmu?" Kini mata Mama menatapku nyalang.
Sekarang malah jadi melebar ke mana-mana. Padahal tadinya bahas tentang kejadian aku dan Siti tadi siang.
Aku dibilang nggak nurut jadi nggak terima. Kalau aku nggak nurut mana mungkin aku balik ke Boyolali cuma buat merah susu sapi sama ngambilin telur ayam?
Kalau aku nggak nurut pastilah aku masih di Jakarta dan mungkin udah dapet kerja di tempat yang aku mau.
Seminggu sebelum aku balik ke kampung, aku bahkan mendapat tawaran du beberapa perusahaan besar dengan penawaran gaji yang menurutku besar.
Demi siapa aku ninggalin peluang karirku? Demi orangtuaku yang rewel!
Balasannya sekarang apa? Aku masih dianggap anak nggak nurut! Jelas aku nggak terima.
Susah payah aku belajar, memperbanyak relasi, coba magang di beberapa perusahaan, ikut menjadi volunteer, demi menjadi lulusan yang punya kualitas dan banyak pengalaman. Bahkan aku sudah nggak minta uang dari Mama Papa sejak aku berada di semester tujuh. Sekarang semua mimpiku aku lepas begitu saja demi kandang sapi dan ayam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Clumsy Sisi
RomanceMama bilang kalau menantu idamannya itu harus PNS. Kalau usaha peternakan yang diwariskan oleh orangtuaku bangkrut, paling tidak masih ada suami yang punya penghasilan tetap dan stabil. Dan Ayash adalah nama laki-laki pilihan orangtuaku. Katanya, Ay...