Lentera Ayah [04]

139 18 0
                                    

Happy reading...

--------🛸--------

Tin!! Tin!!!


Klakson itu memecah riuhnya gerombolan siswa siswi yang keluar dari sekolah termasuk dua saudara Aradhana. Jeje yang mendengar klakson tak asing itu langsung berlari kearah mobil diikuti Raka yang berlari membawa berkas OSIS cukup menumpuk.

Brak

Jeje dengan tidak santainya membuka dan menutup pintu penumpang samping pengemudi. Sedangkan Raka masuk dan duduk di kursi belakang. Hafi yang merasa kedua saudaranya sudah masuk ke dalam mobil langsung menginjak gas, berlalu meninggalkan banyaknya tatapan.

"Dari mana?" Pertanyaan itu terlontar datar dari bibir Jeje, bahkan Raka yang biasanya tidak takut dengan Jeje kini memilih diam menunduk memainkan ujung seragam sekolahnya.

"Ada urusan" jawab asal hafi yang masih fokus menyetir mobil.

"Kenapa gak bilang? Seberapa penting urusan Lo sampai gak inget sodara kembar Lo? Lo tau, gue nyariin Lo keliling sekolah"

Hafi hanya diam mendengarkan setiap kata yang terlontar dari bibir sang kembaran. Ia tau jika akan berakhir seperti ini. Ia tau persis Jeje nya tidak akan berhenti memarahi nya jika dia belum merasa puas, jadi ia akan menyetok kesabaran lebih untuk mendengarkan cibiran sang kembaran Sampai kembaran nya itu puas.

"Kalo Lo butuh tempat cerita, cerita ke gue fi, gampang kan? Apa yang buat Lo pergi sampe setengah hari dan—", tatapan Jeje kearah baju kasual yang dikenakan hafi "Lo sampai ganti baju? Waw rahasia apa yang Lo sembuyiin dari gue" tambah Jeje, mobil yang tadinya bergerak kini sudah terparkir apik di halaman masion keluarga Aradhana.

"Gue capek hafi, gue bukan orang penyabar yang Lo tau"


Brak

Jeje membanting keras pintu mobil, berlari cepat kedalam rumah, hafi yang melihat sang kembaran berlari memilih menyusul. Ia tidak mau hubungan nya dengan sang kembaran memburuk karena ulah nya.

Disisi lain Raka menunduk di bangku belakang, sadar atau tidak tetapi air matanya sudah turun sedaritadi. Mendengar bagaimana pedebatan kedua kakak kembarnya. Ternyata selama ini ia salah, mengira kedua kakak kembar nya selalu satu jalan pemikiran. Ternyata dibalik kekompakan mereka ada saat nya mereka berselisih seperti saat ini.

Pintu rumah terbuka menampakkan wajah lesu si bungsu membuat seulas senyum kepala keluarga berpatri disana. Langkah sang ayah mendekat merengkuh tubuh ringkih si bungsu. Sekarang apa yang akan dilakukan si bungsu jika direngkuh hangat seperti ini? Tentu Raka akan menangis keras, menegelamkan wajah itu kepundak sang ayah meredam tangis yang sedaritadi ditahan oleh Raka.

Tubuh tegap sang ayah menuntun si bungsu duduk di sofa, rengkuhan itu kian kuat saat suara benda jatuh terdengar dari kamar sang Abang.

"Raka tau, seorang saudara tidak selamanya satu pendapat, ada waktu dimana mereka akan bertengkar, dan itu wajar, ayah tau Raka baru pertama kalinya mendengar Abang dan kakak bertengkar kan? Tak apa esok mereka akan baik baik saja" puk puk dikepala terus menerus didapatkan. Disinilah sosok ayah yang Raka sayangi, beliau selalu ada walaupun kesibukan kerja juga ikut andil dikehidupan sang ayah.

Beberapa menit itu berlalu, ayah Winata yang tidak lagi mendengar tangis sang anak memilih menunduk dan mendapati sang anak tertidur pulas disana.

"Sudah selesai?" Pertanyaan itu membuat hafi terdiam seribu bahasa. Suara berat berwibawa sang ayah sudah mulai mengambil alih. Hafi duduk didepan sang ayah yang menatapnya tajam. Sebelum sesuatu terjadi ayah Winata memilih membawa si bungsu ke kamar bawah dimana letak kamarnya berada. Meletakan pelan tubuh itu dan kembali berjalan menemui sang sulung yang sedang melamun menatap kebawah.

"Sudah selesai?" Pertanyaan itu kembali terdengar membuat lamunan si sulung buyar seketika.

"Kau tau ayah benci jika melihat anak ayah bertengkar, kau tau itu"

"Apalagi hari ini?"

Saat bibir itu terbuka ingin menjawab, tangan ayah terangkat terlebih dahulu, membuat sinyal menyuruh si sulung diam. Kini netra tajam itu menatap sosok yang turun dari tangga dengan mata sembab, ya si anak tengah Aradhana.

"Jeje ayah ingin bicara"

Jeje yang mendengar perintah itu menatap penuh sang ayah, memelas tidak ingin berhubungan dulu dengan si sulung tetapi untuk saat ini ayahnya tidak memihak kepadanya. Dengan terpaksa langkah itu menuju kursi tamu depan sang ayah duduk saat ini.

"Ayah tidak suka basa basi, dituduh atau mengaku?"

"Kami bertengkar, dan hanya masalah sepele" hafi menjawab dengan tenang sedangkan Jeje menatap tak percaya hafi.

"Kau!? Masalah sepele? Kau tau aku mencari mu setengah hari, kau pergi tanpa kabar apa hanya masalah sepele, hafi lo—"

"Lo terlalu berlebihan je, gue punya hidup gue sendiri, gue gak bisa terus sama Lo"





Prank

"Gitu? Ya oke Lo punya hidup Lo sendiri kan? Lo anjing ya hafi, gue khawatir hahaha gue capek gue capek hiks" tubuh itu kembali bergetar, membuat ayah Winata memijat pelan pangkal hidung.

"Lo gak tau apa apa je"

"IYA GUE GAK TAU APA APA, IYA OKE TERSERAH LO ANJ. GUE GAK BUTUH LO, STOP SOK PERHATIAN KE GUE PAHAM LO BANGSAT"


"JEJE!!!"

"terserah ayah mau gmn, Jeje capek mau tidur" tubuh itu berdiri lemas, berlari menaiki tangga, mendorong masuk ke kamar sepi yang antah-berantah. Ia menangis kembali, menangis dengan posisi yang sama seperti malam malam yang lalu.

Cairan amis itu kembali menyapa lembutnya angin malam menerobos malu malu. Tidak ada rasa perih, tubuhnya sudah kebal dengan cairan merah. "Jeje capek hiks Jeje capek" goresan demi goresan kini kian melukis kesedihan. Remaja kelas 12 itu kembali jatuh kedalam luka dengan ukiran yang sama.

"Hafi punya hidupnya sendiri, ya Jeje gak penting"

--------🛸--------

Jangan lupa vomentnya

2 chapter lgi end bestieee

Makasih.

Lentera Ayah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang