Lentera Ayah [05]

124 17 0
                                    

Happy reading....

--------🛸--------

Mata sembab itu kembali terbit, menyapu ruangan gelap dingin yang sekarang ia tempati. Tubuhnya seakan kebas berbau anyir juga kian semakin menyapa. Terhitung jarum jam hampir 4 jam dirinya terbaring dilantai yang dingin.

Memang terbilang alay hanya masalah sepele ia sampai seperti ini. Namun mengingat masa lalunya, ia sadar sekecil apapun masalahnya mentalnya sangan ringkih.

Melupakan masalahnya sejenak, remaja kelas 12 itu memilih masuk ke kamar mandi, membersih kan goresan apik di kedua lengannya. Mata itu menatap sayu kearah tubuh kurus dirinya. Ketakutannya kembali datang, keraguannya bahwa kembarannya adalah psikopat kembali datang.

Ia tau apa yang dilakukan kembarannya, ia sudah beberapa kali menangkap basah kembarannya secara diam diam. Ia hanya tinggal menunggu sang kembaran mengaku agar keraguannya mendapatkan titik terang.


Tok tok

"Kak Jeje!"

Panggilan itu terdengar lirih dari kamar mandi, ia mempercepat acara mandinya. Keluar dari tempat dingin itu, membersihkan kamarnya yang sudah seperti ruangan tak berpenghuni. Setelah ruangan itu kembali ke semula, langkahnya ia bawa mendekat kearah pintu membuka knop pintu pelan. Saat pintu setengah terbuka, terlihat adik bungsunya yang sedang membawa beberapa es krim ditangannya, menatap khawatir dirinya. Ia terkekeh kecil.

"Butuh bantuan?"

"Ya(?)"

Jeje menaikan satu alisnya, tanda ia bertanya kearah si bungsu aradhana. "Ayo bantu Raka habiskan es krim ini" Jeje kembali tertawa pelan, membuka lebih lebar pintu kamar.

"Masuk"

Raka yang mendapat perintah tak henti hentinya tersenyum, memilih masuk kedalam kamar kakaknya. Yes, ayah terhebat, sarannya berjalan dengan lancar pikir Raka.

--------🛸--------

Sudah hampir satu Minggu mansion Aradhana sangat sunyi, bukan tidak berpenghuni tetapi tidak adanya interaksi antar anggota keluarga.

"Tidak ingin bercerita dengan kembaranmu?"

Ayah Winata memulai pembicaraannya dengan si sulung Aradhana. Mereka sedang sarapan, untuk satu Minggu terakhir ini yang memenuhi meja makan sarapan hanya ayah Winata dan si sulung Aradhana. Si bungsu memilih menemani sang kakak untuk sarapan setelah ayah Winata dan si sulung hafi.

"Apapun yang hafi sembunyikan dari kita semua sebaiknya tidak disembunyikan dengan kembaranmu, apapun yang terjadi kembaranmu juga akan merasakan"

Ucapan itu menjadi penutup dari sarapan pagi ini, ayah Winata memilih beranjak meninggal kan si sulung Aradhana yang melamun diposisi.

Dirinya butuh sesuatu, atau kesadarannya akan hilang disaat itu juga jika ia tidak cepat cepat pergi dari sana.







"Pak bisa antarkan saya ke tempat biasa?"

"Tentu tuan, mari"

Tubuh tegap itu tengelam bersama mobil yang melaju membelah jalan. Meninggal kan jejak angin yang berhembus pelan menerbangkan sehelai dua helai daun kering di taman.

--------🛸--------

Sekolah hari ini cukup kondusif, berjalan lancar seperti biasa. Suara hentakan sepatu juga terdengar cukup ribut. Pagi ini sekolah kedatangan alumni alumni yang baru saja lulus tahun kemarin.

"Gue kok gak liat sepupu gue ya?" Pertanyaan heran itu terucap dari bibir jiun.

"Lah iya, kok gue baru sadar" tak ingin kalah sang kembaran juga ikut menimpali pertanyaan itu.

Lentera Ayah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang