🐊
Bandung, Juni 2019
Seorang gadis berseragam putih biru menekuk wajahnya, ia melihat sekitar dengan tatapan malas. Lapangan besar, dengan pohon-pohon yang tertata rapi, disela sela pohon terdapat kursi panjang, hal-hal tadi tidak membuat kesan baik sedikit pun untuk gadis satu itu.
SMA Cakrawala, itulah tempatnya berdiri sekarang dengan ratusan orang lainnya yang memakai seragam putih biru. Ini bukan keinginannya, SMA yang ia mau adalah SMA negeri tapi berhubung si gadis menjadi salah satu korban Zonasi, maka disinilah ia sekarang.
Setelah selesai pembagian kelas ia mencari kelasnya sendiri, ia tak peduli sekitar pun tidak berniat mencari teman. 10 IPA 2, gadis itu terus berkeliling mencari kelas tersebut. Sepanjang jalan banyak yang memandangnya dari atas sampai bawah, pasalnya si gadis mengenakan rok diatas lutut, sedangkan kebanyakan memakai seragam panjang dengan kerudung.
Sekali lagi ia tidak peduli, Daiva mengayun kakinya lebih kencang ketika melihat tulisan 10 IPA 2. Akhirnya ia menemukan kelasnya setelah 15 menit lamanya ia berkeliling. Ketika ia masuk ternyata sudah ada beberapa orang di dalam yang akan menjadi rekan kelasnya 3 tahun kedepan.
Gadis itu memilih meja paling depan untuk ia duduki, karena di matanya terdapat ambisi untuk membuktikan jika ia layak.
"Haii gue boleh duduk di samping lo gak?" seorang gadis berkerudung menghampirinya.
Tanpa menunggu persetujuan Daiva si gadis telah dulu mendudukan bokongnya dikursi sebelah Daiva, si gadis memutar bola matanya.
"Kalo lo udah duduk, ngapain minta persetujuan gue?" tanyanya.
Gadis itu malah tergelak, "basa-basi aja sih sebenarnya hihi."
"Oh ya kenalin gue Arletta Damara panggil aja Leta," gadis itu menyodorkan tangannya untuk berkenalan tak lupa senyuman selalu tampak di wajahnya.
Walaupun enggan Daiva mengulurkan tangannya, "Daiva," jawabannya singkat.
Bandung, Juni 2021
2 tahun berlalu ketika pertama kalinya Daiva menemukan sosok Arletta di kehidupannya. Gadis cerewet yang saat ini berperan sebagai sahabat Daiva.
2 tahun berlalu, selama itu pula telah banyak prestasi yang Daiva torehkan baik di kancah provinsi ataupun nasional berbagai medali perlombaan telah ia menangkan, semakin terangkat lah citra SMA Cakrawala ini.
2 tahun berlalu, Daiva sudah memutuskan memakai seragam panjang dengan kerudung meskipun cara berpakaiannya belum se sempurna yang seharusnya.
2 tahun berlalu, saat ini ia akan menjadi kelas 12 yang mana satu tahun lagi masa SMA nya telah usai.
Gadis itu termenung di depan jendela, tatapannya tetap sama seperti pertama kali ia menginjakkan kaki di SMA Cakrawala, dingin seperti tidak ada kehidupan sorot matanya hanya akan berubah ketika ia belajar, ketika saat itu di bola matanya tampak ambisi yang besar.
Namun, setidaknya ia memiliki Arletta si gadis cerewet. Dan kecerewetannya itu membuat Daiva sedikit terhibur, benar-benar perpaduan yang cocok yang satunya dingin dan satunya lagi cerewet.
"Vaaaa, lo ngapain ngelamun pagi-pagi gini sih?"
Daiva menoleh mendapati Arletta yang tidak berubah sejak 2 minggu yang lalu.
"Gapapa."
"Eh eh tau gak?" Letta merengsek duduk di samping Daiva.
"Apa?"
"Katanya ada murid baru ke kelas ini," ucap Leta excited.
"Oh," Daiva menjawab seadanya.
'Plak'
"Sakit Ta."
Pasalnya Leta menggeplak keras bahu Daiva.
"Ishhh respon lo kok gaada excited-excitednya sihh," gadis itu memberenggut.
"Ya gue harus gimana?"
"Heboh kek gimana gitu."
"Waaaa serunya ada murid baru," ucap Daiva menarik perhatian teman-teman kelasnya.
"Hahahaha," Leta malah tertawa.
Aishhh Daiva malu, mana suasana kelas sedang sepi lagi.
"Nahkan lo malah ketawa."
"Aduhh perut gue, ya gimana ya Va ekspresi lo lucu banget tauu."
Daiva ini meskipun tidak banyak bicara dan cenderung dingin tetapi ia memiliki wajah baby face yang imut, jadi bukannya cool jatuhnya malah cute. Karena hal ini pula teman-teman sekelasnya tidak merasa segan kepada Daiva, Daiva pun seperti itu ia tidak sepenuhnya menarik diri dari lingkungan kelas.
"Ck lucu lucu gue gak lucu tau."
"Nahhkan malah tambah cute, utututu."
Saking gemasnya Arletta mengunyel-unyel pipi Daiva yang lumayan cubby itu dan sekarang warnanya memerah perpaduan kulit putih dan pipi yang memerah, arghh ayolah itu sangat menggemaskan.
"Iiiiii Ta lepas."
🐊
"Perkenalkan nama saya Haikal Zhafran Al-Fatih, pindahan dari Tasikmalaya salam kenal semuanya," ucap seorang pria dengan perawakan tinggi, rambut rapih, hidung mancung, dagunya belah tak lupa senyuman manis membuat wajahnya semakin tampan kulitnya tidak terlalu putih pun tidak hitam tetapi sawo matang, perpaduan yang sangat keren.
"Masya Allah," gumaman itu terdengar sedikit riuh.
Leta misuh-misuh sendiri pasalnya ia duduk sendiri karena Daiva sedang ada keperluan dengan bu Rina, guru biologi untuk membahas lomba yang akan datang.
"Ganteng banget."
"Namanya cakep, secakep orangnya."
"Cerah ni mata kalo dikelas ada cogan kayak gini."
Yang satu ini membuat para siswa protes, pasalnya mereka juga mengaku tak kalah tampan.
"Sudah-sudah kalian diam," ucap Bu Ana menginterupsi.
"Haikal kamu bisa duduk di kursi sebelah meja Daiva dan Arletta, Daiva tolong angkat tangan."
"Maaf bu Daiva sedang ada keperluan dengan bu Rina," ucap Arletta.
"Ahh iya ibu lupa, nah Haikal kamu bisa duduk disamping meja yang kursinya kosong."
Kursi kosong itu merujuk pada kursi milik Daiva.
"Baik bu, terima kasih."
Dilain tempat.
Gadis itu kembali ketika waktu shalat dzuhur berjamaah tetapi ia tidak sempat ikut berjamaah. Karenanya ia shalat ketika yang lain sudah selesai. Setelah mengambil wudhu ia memasuki mesjid yang sudah kosong, ah ternyata tidak terdapat satu orang pria yang masih shalat. Shalat sunat, mungkin.
Tidak memikirkannya gadis itu menunaikan shalat secara munfarid. Namun, ketika di rakaat keempat ponselnya berdering menandakan adanya panggilan masuk. Berhubung mesjid sepi jadilah dering ponselnya terdengar sampai si pria tadi.
Daiva yang baru menyelesaikan shalatnya, tergesa mematikan ponselnya.
"Permisi," ucap seseorang.
Daiva menoleh.
"Maaf ini di mesjid jadi sssttt, lebih baik jika ponselnya di nonaktifkan," ucap si pria.
Daiva tidak bisa melepaskan tatapannya dari pria itu, binar baru terpampang nyata di bola matanya.
Luar biasa, luar biasa tampannya.
Hatinya berdesir hangat, jantungnya berdetak lebih cepat, seketika hormon serotonin, sitosin, oksitosin, dan endorfin dalam kadar tinggi. Impuls diteruskan ke saraf motorik menuju hipotalamus, jadilah keempat hormon itu berlomba-lomba mengisi tubuh Daiva.
Itu hormon bahagia, hormon jatuh cinta. Iyaa Daiva jatuh kepada pria yang entah siapa namanya lewat tatapan pertama.
"Ahh iya-iya, maaf," ucap Daiva ketika sadar dari keterpanaannya.
Hey, I fall in love.
🐊
Hira, 30 June' 22.
KAMU SEDANG MEMBACA
The last mission
Teen FictionBertemu dengan mu adalah hal yang akan selalu ku syukuri, mencintai mu adalah hal yang tidak akan pernah aku sesali, bersama mu adalah mimpi indah yang selalu aku harapkan. Orang bilang kamu ini kamu itu, orang bilang jangan menyukai kamu, tapi ter...