Sorry for typo(s)
Sepanjang koridor tampak sepi lantaran sudah memasuki jam pelajaran kedua. Gemi dengan dua ransel yang mengapit tubuhnya berjalan santai sambil bersenandung menuju kelas.
Fakta menarik, dua sejoli ini berada di kelas yang sama dan mereka juga saling berbagi meja.
Saat akan menaiki tangga menuju lantai dua, samar-samar mata Gemi menangkap siluet sang kekasih di tengah lapangan, tetapi mengapa kekasihnya malah berdiri di depan tiang bendera sambil mengangkat tangan hormat?
Apa mungkin...?
Perasaan panik tiba-tiba menyerang, tanpa pikir panjang Gemi langsung berlari menuju tengah lapangan. Akan tetapi, jalan Gemi tidaklah semulus pantat bayi, kakinya tersandung bebatuan yang entah dari mana asalnya.
Mata Gemi terpejam, ia pasrah jika wajahnya harus menghantam paving block yang keras.
Beruntung hari ini bukanlah tanggal sial Gemi. Seseorang meraih ransel yang berada di punggungnya dan berusaha untuk menahan beban tubuhnya agar paras tampan itu aman dari goresan.
"Eh?" Gemi langsung berdiri tegak sembari membenarkan posisi kedua ranselnya. "Thank's, Ron! Sorry, gue buru-buru."
Aaron, ia tahu, situasi seperti ini tidak akan terjadi dua kali. Ia dengan cepat meraih lengan Gemi.
"Mau ke mana?"
"Err ... ke sana!" Gemi menunjuk ke tengah lapangan yang masih jauh dari jangkauannya.
Ia berlari lagi, tidak peduli jika terjatuh dua kali.
Aaron masih berdiri di tempat, memandangi punggung itu yang semakin lama semakin menjauh. Ia yang tidak punya hak untuk menahan Gemi lebih lama lagi, hanya mampu menghela napas kasar.
Ia gagal lagi.
Tanpa keduanya sadari, ada sepasang mata yang sedari tadi mengawasi mereka dari tengah lapangan.
Sekarang Gemi sedang mengatur napas sambil memegang kedua lututnya. Ia menggerutu singkat karena ransel Maga yang membuat jalannya ribet. Setelah napasnya normal, Gemi kembali menegakkan tubuh, di sebelahnya ada Maga yang masih setia memberi hormat di bawah tiang bendera. Namun, anehnya Maga sama sekali tidak meliriknya.
Apa mungkin Maga marah karena dirinya dihukum, sementara Gemi malah enak-enakan makan di kantin?
"Maaf...." Rasa bersalah menggeluti hati Gemi, ia menundukkan kepalanya, tangannya meraih jari kelingking kiri Maga, memainkannya. Ia bahkan lupa bahwa seseorang mungkin saja melihat tingkah homonya.
Mata Maga melirik ke bawah, terlihat sebuah tangan yang mengayun-ayunkan kelingkingnya.
Ia turunkan tangan kanannya untuk sekadar meraih dagu Gemi kemudian mengangkatnya pelan hingga ia dapat melihat paras tampan.
"Maaf kenapa?"
"Harusnya gue juga dihukum." Gemi berkedip saat silau matahari menusuk matanya.
Bukan, bukan jawaban itu Maga inginkan.
"Di sini panas, masuk kelas." Maga kembali hormat dengan kepala mendongak, mengabaikan Gemi yang cemberut menatapnya.
Hingga tiba-tiba sebuah ransel mendarat tepat mengenai sepatu Maga. "Bawa sendiri!"
Sayangnya Maga sama sekali tidak mengindahkan kode marah Gemi.
Gemi melangkah pergi sambil menghentakkan kakinya kuat-kuat. Namun, belum ada lima langkah, kaki Gemi terpaksa berhenti ketika mendengar suara lantang dari belakang yang meneriakkan namanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maga's Lover
Teen Fiction[Semua gambar bukan milik pribadi!] R18+ HARSH WORDS! DIRTY WORDS! HOMO! GAY! YAOI! BATANGXBATANG! 💀💀💀💀💀 ©2022