16. Keraguan

702 86 2
                                    

Katanya pilihan terbaik adalah pilihan yang berasal dari dasar hati, lantas bagaimana jika hati tak mau membuka suara

🐨🐼

"Gue nyariin lo, ternyata nemu disini."

"Ci gu-"

"Lo emang beneran mau jauhin gue?"

"Buk-"

"Berapa tahun Jun, udah berapa tahun gue diliputin sama rasa bersalah tentang kepergian Bunda nya Jiun, semenjak kepindahan gue, gak ada satu detik pun gue habisin dengan rasa nyaman. Sampe-sampe ayah gue harus nyewa psikiater buat ngecek gue masih waras atau engga."

"Ochi."

"Gue tau sekarang dia saudara lo, dan gue juga gak maksa buat lo nentang dia. It's okay kalo lo milih buat jauhin gue, asal satu hal. Jangan pernah nyesel sama keputusan yang udah lo buat."

Satu hal yang meliputi perasaan Junkyu setelah Yoshi berbalik meninggalkannya sendiri adalah rasa bersalah. Bagaimana tatapan yang ia dapat dari Yoshi seolah menjelaskan betapa ia sakit, dan memberi isyarat bahwa ia masih berharap Junkyu mau memberi uluran tangan tuk mengobati sakitnya.

Junkyu tak pernah mau menyakiti siapa-siapa, namun ia tak bisa pungkiri bahwa tak mau bukan berarti tak mungkin terjadi. Ia baru saja menyakiti Yoshi, namun bukan dengan maksud. Ia hanya melakukan hal itu, demi untuk tidak menyakiti seseorang yang lebih berarti, bahkan jika dibanding dengan dirinya.

Kalimat maaf mungkin tak akan bisa menyembuhkan kecewa Yoshi, dan juga rasa bersalah Junkyu. Namun setidaknya, kalimat itu akan berhasil sedikit menghalau rasa benci dan amarah. Junkyu akan meminta maaf pada Yoshi, dan menjelaskan apa yang perlu ia jelaskan, demi menghindari salah paham. Junkyu menjauhi Yoshi, bukan berarti membenci, hanya menjaga jarak, hingga perlahan ia berhasil membujuk Jihoon untuk menerima kenyataan, dan berdamai dengan masa lalu.

Junkyu mengurung niatnya menuju toilet, dan bergegas menuju langkah Yoshi yang meninggalkannya beberapa menit lalu. Tak tenang rasanya, seperti ada yang mengganjal dalam langkah Junkyu.

Baru akan selangkah lagi untuk memasuki kelas, namun sebuah benda kecil mendarat mulus tepat di depan sepatu hitam Junkyu. Benda kecil yang teramat berharga untuk seorang Junkyu.

Stiker koala. Iya, Junkyu yakin itu adalah miliknya, yang pagi tadi ia serahkan pada Jihoon. Sebentar untuk meyakinkan bahwa itu miliknya, Junkyu memungutnya, membalik sekali dua kali, kemudian mengarahkan pandangannya pada keramaian di kelasnya.

"Harusnya lo gak semudah itu permainin perasaan orang."

"Cihhh, peduli apa lo?"

"Lo benci ke gue, gak masalah, lo pukulin gue semau lo juga, gak masalah. Asal jangan bawa orang lain masuk ke dunia penuh dendam lo itu, terutama Ajun."

Junkyu mematung, mendengar namanya yang disebut membuatnya berhenti berusaha melewati kerumunan yang menutupi apa yang tengah terjadi. Namun ada beberapa celah yang membiarkan ia tau siapa yang tengah ribut, yaitu Jihoon dan Yoshi.

Celah kecil itu menampakkan Yoshi yang menarik kerah baju sekolah Jihoon, menyudutkan Jihoon pada dinding putih yang dingin.

"Dia berharap banyak sama lo, sampe ngejauhin gue demi lo. Tapi nyatanya lo cuman jadiin dia barang balas dendam lo."

"Pantes 'kan buat dia."

Bugh

Satu tinjuan berhasil menyentuh rahang tajam Jihoon, menimbulkan bekas kemerahan. Bukan hanya sekali itu, namun Yoshi yang terlihat sudah dipenuhi amarah, menarik Jihoon untuk bangkit berdiri, lalu meninjunya untuk kedua kalinya, bahkan lebih keras hingga berhasil membuatnya terlempar, membuat orang-orang yang menonton terpaksa berpindah menghindar, agar tak tertimpa Jihoon.

Hanya satu orang yang tak bergerak dari tempatnya berpijak. Membiarkan Jihoon mendarat mulus tepat di hadapannya, persis bagaimana stiker koalanya berada di hadapan kakinya.

Melihat Jihoon yang masih terduduk dan tertunduk, Junkyu berjongkok. Demi memastikan apakah Jihoon baik-baik saja, meski sejujurnya bahkan untuk menatap matanya saja, Junkyu tak mampu.

"Park Jiun."

Jihoon nampak terkejut. Ia mengangkat kepalanya, dan mendapati Junkyu yang berada di hadapannya. Mendapati kedua mata yang siap menumpahkan bebannya.

"Lo gapapa?" pertanyaan Junkyu tersebut terdengar lirih, ada banyak pertanyaan yang sangat ingin ia tau jawabannya, namun semua lenyap begitu saja, saat melihat Jihoon bangkit, memberi tatap tajam pada Yoshi, lalu berlari keluar, entah kemana tujuannya, Junkyu tak tau. Ia masih diam, bahkan masih dalam posisi berjongkok. Menggengam erat stiker koalanya, hingga menyusut dan tanpa ia sadari, jarum peniti yang berada di stiker itu berhasil melukai tangannya.

Apa harus sesakit ini untuk mendapat seorang saudara. Junkyu hanya tau, bahwa ketika ia tersenyum maka orang lain akan membalas dengan senyum, ketika ia menangis maka orang lain juga akan ikut menangis. Namun sayangnya, pemikirannya tak demikian dengan apa yang terjadi. Sepertinya apapun yang dilakukan oleh Junkyu, tak akan mendapat hal baik yang diharapkan. Apakah Junkyu harus berhenti, berhenti berharap, berhenti menyakiti dirinya yang jauh sebelum bertemu Jihoon, sudah sarat akan rasa sakit.

☄☄☄


M

akasih banyak Jiun, lo udah buat gue ngerasain punya saudara, hal yang gue impiin sejak dulu

Kosongnya tatapan itu masih melekat walau sudah berapa banyak kendaraan melaju melewatinya. Jihoon bolos, dan kini entah sedang berada dimana dan kemana tujuannya.

Sejak meninggalkan kelas pagi tadi, pikirannya tak beraturan, meski hanya satu objek yang menjelajahi, yakni Junkyu.

Jihoon masih ingat dengan jelas, tatapan Junkyu, sentuhan lembut pada lengannya, dan suaranya yang menunjukkan rasa khawatir. Apa Jihoon telah menyakiti Junkyu lebih dari yang ia duga.

Tak ada satupun dari kalimat Yoshi yang salah, namun hati kecilnya seolah berontak, bahwa ia tak menerima semua kalimat itu. Jihoon tak pernah benar-benar membenci Junkyu, hanya saja ia belum mampu menerima orang lain untuk masuk ke dalam kehidupannya. Bahkan ayah saja, tak pernah benar-benar ia perbolehkan untuk mengetahui segalanya.

Kejadian pagi tadi berputar, rasanya begitu nyaman bila boleh akrab dengan Junkyu, menertawakan hal yang sama, merasakan hal yang sama, dan melakukan apapun dengan selalu bersama. Tapi sayang nya, tidak semua dari bagian dirinya ingin dekat dengan Junkyu, pun ingin jauh. Entahlah, ibarat dirinya berada di tengah, yang mengharuskan menepi, namun memilih, apakah harus ke arah kanan atau sebaliknya, apakah harus benar-benar dekat dengan Junkyu, atau menjauh darinya.

Kebingungan dan keraguan itu berhasil membuat Jihoon tak menyadari bahwa rintik kini mulai berjatuhan mengenai rambut hitamnya. Waktu di pergelangan tangannya berhasil membuatnya bangkit, dan membawa laju motornya menuju dimana hatinya memerintah.

Sorry for typo (s)
Long time no see you my guess my lovely
I hope u like this part, hehehe

Don't Give Me Hope |JiKyu-JihoonJunkyu|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang