34. Rumah Sakit

678 69 26
                                    

"Sesuap lagi, abis itu udah." Jihoon masih berusaha untuk membujuk Junkyu, bahkan mangkuk di tangannya masih terlihat utuh, agaknya Jihoon tak berhasil membujuk Junkyu.

"Mual, gue gak mau lagi," ucapnya sembari menutup mulutnya. Jihoon menarik napas dalam, meletakkan mangkuk yang isinya sudah tak lagi hangat namun tak berkurang sedikitpun, uapnya telah sirna terbawa bersama udara yang pagi itu masih terasa segar.

"Gue mau minta maaf." Atmosfir dalam ruangan itu tiba-tiba berubah. Kedua tangan Junkyu yang sejak tadi menempel di bibirnya, terayun menarik selimutnya. Ia menatap Jihoon yang kini hanya menunduk, ada apa, demikian tanya dalam hati Junkyu. Ingin ia bertanya, minta maaf untuk apa, namun seolah tertahan dengan isak yang kian terdengar. Jihoon menangis, sepertinya.

"Gue banyak salah sama lo, gue bukan saudara yang baik buat lo, gue bahkan sering buat lo sakit."

Punggung itu semakin bergetar, isak yang tadinya seperti bisikan, kini terdengar jelas, kedua tangan Jihoon saling bertaut, namun gemetarnya kian menjadi. Ia tak kunjung mengangkat wajahnya, seolah penyesalan telah menekan ubun kepalanya. Hanya sepasang sepatu yang menjadi objek pandangnya, walau jika ditilik dalam pikirannya, hanya ada penyesalan.

Junkyu tertegun. Ia pikir Jihoon memanggilnya adik sudah cukup, ia tak muluk berharap Jihoon akan minta maaf padanya. Sejauh ini. Rupanya Junkyu masih memiliki celah untuk mengukir harap menjadi nyata. Ia mengelus punggung yang masih bergetar itu, menepuk-nepuk pelan.

"Lo saudara terbaik yang gue punya," bisiknya tepat di telinga Jihoon. Kala tangis itu masih saja belum reda.

"Kakak, mau peluk," pinta Junkyu dengan nada manja, ia sengaja memancing Jihoon untuk mengangkat wajahnya, ia tak suka jika ada yang bersedih hanya karna dirinya.

Junkyu merentangkan kedua tangannya, menunggu Jihoon segera membalasnya. Tak berselang lama, kehangatan itu menjalar, Jihoon memeluknya. Junkyu bahagia, sangat bahagia, saking bahagianya, ia ingin berteriak pada dunia, bahwa ia adalah manusia paling bahagia di muka bumi ini. Dalam bayanganpun, tak pernah terpikir oleh Junkyu akan merasa sebahagia ini.

"Jangan pergi," cicit Jihoon. Ia sadar, tak boleh egois dengan menahan Junkyu disini, namun sejak mendengar kabar bahwa Junkyu akan meninggalkannya, Jihoon merasa ketakutan, rasa takut yang membuatnya sulit untuk menjalani hari seperti biasanya. Ia tak mau merasa kehilangan kedua kalinya, meskipun kehilangan kali ini hanya jarak yang masih bisa ditempuh, namun tetap saja, rasanya beda.

Jika dulu Junkyu merasa tak diterima, kini ia merasa diperebutkan. Sungguh ia senang, dilema siapa yang akan ia pilih memang membuatnya kesulitan, melihat perubahan Jihoon, muncul pemikiran bahwa jika Jihoon bisa berubah menyayanginya, itu artinya bunda juga bisa berubah, namun mengingat percakapan terakhirnya dengan bunda, ia sudah berjanji akan meninggalkan rumah itu. Keputusan final yang disesali oleh Junkyu.

Baru ia ingin bersuara, namun denyutan di kepalanya kembali berontak, seolah palu-palu kecil mengetuki kepalanya berkali-kali dalam jumlah yang banyak, hidungnya juga terasa gatal, ketika menyentuhnya, Junkyu mendapati cairan merah kental, seketika tubuhnya terasa lemas. Ketika Junkyu ingin menyudahi pelukannya, matanya memaksa untuk terpejam, akhirnya ia kalah dengan rasa sakit, kepalanya bertumpu pada bahu Jihoon.

Jihoon merasa aneh, ketika badan Junkyu semakin berat dan mendorongnya, Jihoon memanggil Junkyu, menarik badannya sedikit menjauh, hingga badan itu lunglai, Jihoon dapati kedua mata saudaranya itu telah terpejam sempurna. Ini kesekian kalinya Jihoon mendapati Junkyu hilang kesadaran. Seperti orang linglung, Jihoon memaku. Ia bingung, matanya masih terlihat memerah, ia berulang kali berteriak memanggil nama Junkyu, hingga beberapa suster masuk ke ruangan itu, tampaknya suara Jihoon terlalu besar, hingga berhasil membawa para suster tersebut untuk segera melakukan penanganan, tombol darurat segera dipencet oleh salah satu suster, kemudian sisanya menarik Jihoon, membawanya keluar sementara Junkyu ditangani oleh dokter.

...

"Dari awal dia bilang kalo tengkuknya sering kaku, gue udah curiga, tapi gue gak mau mengada-ngada, begitu hasil darahnya keluar, gue makin yakin, kalo dugaan gue bener."

Jihoon terlihat lebih lesu ketika mendengar penuturan sepupunya itu, ia ingin menangis saja rasanya, membayangkan hidup Junkyu yang tak pernah bahagia, ditambah lagi sakit yang ia terima. Jihoon ingin teriak, marah pada Tuhan. Kemarin bundanya pergi karna penyakit itu, hari ini Junkyu diketahui memiliki penyakit yang sama. Membayangkan bagaimana ia kehilangan Bunda, membuat Jihoon semakin takut. Ia menggeleng. "Gue gak mau kehilangan dia Jo."

Jonathan mengelus pelan punggung Jihoon. Ia tak tau sebesar apa rasa sayang Jihoon untuk saudara tirinya itu, namun melihat sepupunya yang nampak kacau, ia yakin, bahwa Junkyu memiliki arti penting dalam hidupnya. Tak banyak orang mampu mempengaruhi Jihoon sebesar ini.

Bunda dan Ayah menghampiri mereka, begitu mendengar bahwa Junkyu tak sadarkan diri kembali.

"Tadi Ayah sama Bunda ditanyai perihal Ajun, tapi Ayah engga bisa jawab, Bunda kamu juga, Ayah cuman bilang akhir-akhir ini dia sering pingsan. Jiun barangkali ada yang kamu ketahui."

Jihoon menatap Bunda cukup lama, lalu tersenyum, senyum yang berbeda. "Ayah engga tau itu wajar, ayah kerja, tapi Bunda? aneh kalo engga tau, masa anak sendiri gak tau apa-apa. Gak malu pas ditanya dokter malah diam aja. Harusnya Bunda sadar, udah cukup pantes jadi orangtua belum?" Jihoon bangkit begitu usai melempar kata dan tatap tajam, untuk seseorang yang ia hormati. Ia sadar, bukan hanya Bunda yang pantas disalahkan akan rasa sakit yang Jihoon terima, namun ia juga.

Mungkin taman rumah sakit boleh menjadi pelariannya. Jihoon belum siap mendengar fakta lebih jauh lagi tentang penyakit Junkyu, yang ia tahu hanya sebatas bahwa penyakit itu yang merenggut nyawa orang nomor satu di hidupnya, yaitu Bundanya.

"Maaf Om, mungkin Jiun lagi fase emosional, makanya omongannya engga kekontrol," ucap Jonathan berusaha memecahkan dinginnya suasana yang memeluk mereka saat ini.

"Jo, kata Jiun kamu yang periksa Ajun, boleh kasih tau Om apa hasilnya?"

"Eumm, ini masih dugaan Om, Jo belum berani simpulin, mungkin harus dilakuin pemeriksaan lebih lanjut, nanti Jo coba diskusi sama dokter Siska, dokter bagian saraf, tapi Jo harap, untuk saat ini, kita harus banyak-banyak berdoa."

...

Sorry for typo (s)

Coba tebak, berapa chapter lagi menuju ending?

Don't Give Me Hope |JiKyu-JihoonJunkyu|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang