27. Ji-un

861 98 21
                                    

Mencoba menerima kehadirannya dan pasrah pada keadaan, itu bukan Aku #Jii

#27

Sinar surya perlahan memasuki ruangan kamar milik Junkyu. Sedikit demi sedikit, celahnya berhasil masuk, menganggu pejam koala yang masih asik dengan lelapnya. Pelan-pelan gerakan kelopaknya berusaha menyesuaikan cahaya, dan kemudian menunjukkan binar biji matanya yang selalu tampak bercahaya.

Junkyu menguap sekali, dua kali, lalu bangkit untuk duduk. Sebentar mencoba mengingat, mimpi apa dia barusan. Seringkali setiap bangun dari tidur, hal pertama yang ia lakukan adalah mencoba mengingat mimpinya, dia sangat penasaran, karna mimpinya menimbulkan efek badmood setelah ia bangun.

Susah sekali. Dasar payah. Junkyu tak berhasil mengingat mimpinya. Sebelum benar-benar berpisah dengan ranjang nyamannya, ia baru tersadar bahwa ia mengenakan hoodie, biasanya Junkyu menggunakan piyama tidur bercorak koala, namun kini. Aah ia kembali mencoba mengingat lagi, dan untungnya kali ini, saraf-saraf di kepalanya mau di ajak bekerjasama. Junkyu ingat, terakhir kali ia berada di halte, menumpahkan sebagian keluhannya pada Om Jordi. Om yang selalu setia mendengar segala yang terucap dari mulutnya.

"Ajun..."

Suara ketukan dan panggilan dari balik pintu coklat itu adalah ayah. Ayah dan bunda pasti sudah selesai dengan tugasnya, entah mengapa, Junkyu merasakan sebuah keengganan dan ketakutan bertemu dengan bunda. Terakhir kali di rumah sakit, bundanya menatap dirinya begitu tajam, juga perintah untuk tidak menyusahkan.

"Ajun," panggilan ayah tuk kedua kalinya berhasil membangkitkan Junkyu, ia berjalan menuju pintu, tak mau ayah memanggil dan menunggunya terlalu lama.

"Iya yah?"

"Kamu sudah bangun ternyata, ayo siap-siap ke sekolah. Oh iyaa, ayah sama bunda ada bawain kamu oleh-oleh. Cepet turun ke bawah ya, ayah tunggu."

Junkyu menatap mata ayah sebentar, lalu mengangguk, ayah sudah sangat baik padanya, namun tetap saja, ayah kandungnya tak tergantikan, walau jujur Junkyu akui, perasaan nyaman itu cukup terasa, apakah Junkyu harus berhenti berharap pada ayah kandungnya dan memilih untuk melepas saja. Karna Junkyu sudah lelah, selama sebelas tahun menanti sang ayah, ketika terasa sudah di depan mata, ayahnya bahkan tidak mengenalinya.

Elusan di rambut hitamnya menyadarkan Junkyu. "Ajun mandi dulu yah." Setelah ayah pergi, Junkyu masih menatap punggung ayahnya, mungkin memang saatnya dia berhenti berharap akan ayah kandungnya, dan mencoba menikmati apa yang ia miliki, karena mengikhlaskan apa yang tidak dapat kita gapai, jauh lebih baik daripada mengharap apa yang tak mungkin kita genggam.

Pagi itu, ditemani guyuran air dingin, Junkyu memilih untuk mundur. Karna sebanyak apapun ia menanti, selama apapun waktu yang ia habiskan, sebesar apapun harapannya, hasilnya akan sama saja. Yakni bertemu dengan kecewa.

Susunan buku yang sudah dipersiapkan sesuai jadwal, disusun rapi ke dalam tasnya. Tak lupa juga stiker koala kesayangannya, walaupun sudah sempat ia beri dan pindah tangankan pada Jihoon, dan mungkin juga ia sudah tak memiliki hak lagi akan barang itu, Junkyu tetap memakainya. Junkyu percaya pada mantra pelindung dari stiker koala itu.

Setelah merasa siap. Junkyu turun untuk bergabung ke bawah, sesekali ketika menuruni tangga, Junkyu menghitung setiap pijakan tangga yang berhasil ditapaki. Agak tak berguna memang, namun cara itu adalah salah satu hal yang berhasil membuat Junkyu lupa bahwa ia memiliki ketakutan akan ketinggian.

"Ajun kemari," panggilan Ayah merupakan sapaan yang berhasil Junkyu jadikan sebagai alasan untuk tersenyum. Tak peduli pada tingkah tak acuh bunda, tak peduli pada Jihoon yang tak menoleh padanya. Junkyu mencoba untuk tak merasa sakit dan mencoba untuk terlihat biasa saja.

Don't Give Me Hope |JiKyu-JihoonJunkyu|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang