(16) Langit Malam

1.8K 159 144
                                    

Suara gemericik air memenuhi kamar mandi yang sunyi dengan aliran pancuran yang bergerak konstan dan menenangkan. Air yang jatuh deras menimpa lantai keramik dingin, memantulkan cahaya lembut dari lampu di atas, mencipta bayangan yang bergerak pelan. Di tengah uap hangat yang menyelimuti ruang, berdiri seorang wanita cantik dengan rambut panjangnya yang basah, air mengalir di sepanjang tubuhnya yang indah.

Matanya terpejam, air mata bercampur dengan tetesan air dari pancuran. Sabun yang diusap di tangannya berbusa lembut, namun gerakannya lamban, seperti ditarik oleh beban emosi yang berat. Aroma sabun yang segar dan menenangkan memenuhi ruang, namun tak mampu mengusir kesedihan yang menggelayuti hati dan pikiran.

Bunyi gelembung sabun yang pecah terdengar samar, mengiringi tarikan napasnya yang dalam dan berat. Terkadang, suara isakan kecil terdengar di antara gemericik air, menciptakan irama yang kontras dengan keheningan yang menyelimuti kamar mandi. Uap air yang memenuhi ruang mencipta kabut tipis di kaca dan cermin, menambah kesan muram.

Di sudut kamar mandi, handuk tergantung dengan rapi, siap menyambut tubuhnya yang lelah. Namun untuk saat ini, ia hanya berdiri di bawah pancuran, membiarkan air hangat mengalir di atas kulitnya, seolah mencoba mencuci bersih segala kesedihan yang ia rasakan. Setiap tetes air yang jatuh terasa seperti detak waktu yang melambat, memberi ruang bagi hatinya yang perih untuk meresapi setiap momen kesedihan.

"... Setelah semua yang telah terjadi, bagaimana bisa aku tetap berada di sini?" Ashmerra bertanya pada dirinya sendiri dengan suara lirih. "Seperti orang yang tidak punya harga diri."

Setelah berdiam diri cukup lama, Merra akhirnya melangkah keluar dari dalam kamar mandi dengan rambut basah dan handuk yang melilit tubuhnya. Langkah kakinya yang basah meninggalkan jejak pada lantai kamar, menciptakan pola air yang perlahan menghilang.

Tetesan air dari ujung rambutnya membentuk genangan kecil di tempat ia berdiri, dan udara sekitar terasa lebih sejuk dengan aroma segar sabun yang masih tersisa di kulitnya. Wanita itu berdiri di depan meja riasnya dalam posisi membelakangi ranjang.

"Kau mengikuti saranku?"

Ashmerra terperanjat, lalu sontak mengangkat pandangannya, menatap kaca besar di hadapannya dengan mata yang berbinar dan hati berdebar. Pria yang menjadi alasan atas segala tangisannya itu tengah berbaring di atas ranjang sambil menggenggam bra baru miliknya yang tadi siang ia ambil dari gudang persediaan.

"Aku suka warna dan model yang kau pilih."

Tanpa mengalikan pandangan, Carl beringsut turun dari atas ranjang kemudian melangkah menghampiri Merra, dan dengan perlahan merengkuh pinggangnya. Jari tangannya yang besar dan kasar itu menyentuh perban yang menutupi luka pada punggung Merra dengan sangat hati-hati, takut menimbulkan nyeri.

"Kenapa kau membasahi lukamu?" Carl bertanya dengan nada cemas dan sorot mata khawatir. "Setelah makan malam, datanglah ke ruang kesehatan dan minta petugas wanita di sana untuk mengganti perbanmu dengan yang baru. Atau kau mau aku memanggil mereka ke kamarmu? Mana yang lebih membuatmu nyaman?"

Hening.

Melihat Merra yang hanya diam, Carl menghela napas pelan, kemudian dengan perlahan merundukkan kepalanya ke bawah dan mendaratkan satu kecupan pada bahu Merra, sebelum akhirnya meletakkan bra milik wanita itu di atas meja riasnya. "Sayang ...?" ia berbisik.

Dalam keheningan, Carl tidak henti memberikan kecupan basahnya, terus berpindah mendarat dengan lembut di mana pun ia suka, seakan mencoba memecahkan lapisan keheningan yang menyertai mereka. Setiap sentuhan bibirnya meninggalkan jejak kehangatan yang menyulut rasa di tengah kesunyian yang mendalam.

PENANCE (CHANBAEK 21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang