Gantungan Kelinci

48 13 3
                                    

"Seperti kebiasaan, orang-orang terjatuh untuk sesuatu yang tak bisa mereka miliki."

-Aldebaran Daffa Ardiansyah-

...

Tatapan kosong gadis itu menjadi bagian dari malam yang dingin, jendela kamar yang dibiarkan terbuka lebar membuat angin dengan leluasa masuk—memenuhi ruang hampa itu dengan kedinginan.

Kei, gadis itu terduduk di lantai kamar sambil memeluk kedua lututnya.

"Kei! Kakak pulang! Kamu di mana?" Langkah kaki pemuda berusia dua belas tahun itu bergerak menyusuri seluruh penjuru rumah.

Kerutan halus jelas nampak di dahinya begitu mendapati ruang keluarga yang sudah hancur bak kapal pecah. Vas bunga yang pecah dengan tanah yang berserakan, miniatur-miniatur kecil di atas meja yang sudah tak tersusun, dan foto keluarga yang tergeletak di lantai dengan kaca frame yang pecah.

Hiks ....

Sempat membeku, atensi pemuda itu langsung teralih ke pojok ruangan, di sana terdapat seorang gadis kecil berusia lima tahun yang meringkuk dengan tubuh mungil bergetar hebat.

Pemuda itu menghampirinya, "Kei? Kamu kenapa? Ini ada apa?"

Kepala gadis kecil itu mendongak, mata bulat yang memerah dengan air mata membendung di pelupuknya, dan pipi tembamnya terlihat sedikit bengkak.

"Kak Ken ...." Suara menggemaskan itu terdengar sangat menyayat, "Kei takut."

Seketika, tubuh mungil itu beralih ke pelukan si Pemuda, "Sstt ... jangan takut, Kakak ada di sini," lirihnya seraya menepuk-nepuk pelan punggul gadis itu.

"Ma–mama dan papa ...."

"DASAR JALANG GAK TAHU DIRI! KEI, KENZO! KITA PERGI DARI SINI!"

Deg!

Napas gadis itu tersenggal, mata membelalak. Tanpa sadar ia tertidur di lantai dalam keadaan memeluk lututnya, bersandar pada tembok yang dingin.

Dengan tubuh yang bergetar, ia merangkak naik ke tempat tidur, menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya. "Nggak, Kei ... gapapa, gapapa, jangan kayak gini," lirihnya sambil menggeleng pelan.

Drrt ... Drrt ....

Getaran pada ponsel membuat Kei tersentak, tetapi itu sedikit menariknya untuk kembali tersadar. Mata bambil itu menatap sayu layar ponsel yang menunjukkan nama Bagas.

"Kei, kamu udah ngomong sama Van—"

"Halo?" potong Kei saat Bagas sudah mengeluarkan kalimatnya tanpa menunggu sapaan Kei.

"Kamu kenapa?"

Kedua sudut bibir Kei terangkat membentuk bulan sabit, memang menyebalkan begitu menyadari Bagas lebih mementingkan Vania, tetapi Kei tetap bersyukur karena Bagas tetaplah kekasihnya yang akan peka terhadap kondisinya.

"Aku tadi kehujanan dan sekarang kayaknya sedikit flu."

Terdengar helaan napas di seberang sana, "Makanya jangan pancing emosi aku, Kei, jadinya aku ninggalin kamu."

Kei mengatupkan bibirnya, tak berniat untuk membalas kalimat itu.

"Sekarang gimana? Udah minum obat? Atau perlu aku kirim obat sekalian?"

"Kamu tenang aja, besok juga sembuh."

"Hah ... baguslah. Pokoknya, kamu istirahat aja, nanti setelah sembuh jangan lupa minta maaf ke Vani."

TITIK TEMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang