"Rasanya lucu begitu melihat manusia sampah yang tengah berusaha dengan topeng sucinya."
-Aldebaran Daffa Ardiansyah-
...
Saat langit berubah menjadi kekuningan, dua remaja yang sebelumnya saling menautkan bibir masing-masing itu mulai menghentikan aktivitasnya. Saling memandang sambil melemparkan senyuman manis hingga menyadari bahwa warna langit mulai berubah.
"Hm? Udah sore, ya, tapi kenapa Kei belum dateng?" cetus Bagas sambil melirik jam yang tertempel di dinding bagian depan kelas.
Vania mengikuti arah pandang pemuda itu, kedua alisnya bertaut begitu mendapati jarum pendek jam sudah melewati angka lima. "Lo beneran nyuruh dia ke sini, kan?"
"Iya," sahut Bagas dengan mata yang terfokus pada layar ponsel, "bentar, gue telepon dulu."
Jari-jari pemuda itu mulai menari-nari di atas layar ponsel, mengetik nama Kei sebelum memencet tombol telepon dan mendekatkan benda pipih itu ke telinganya. Namun, dahinya segera mengernyit karena suara operator yang menyatakan nomor Kei sedang tidak aktif menyahutinya.
"Tumben dia gak aktif."
Mencoba beberapa kali, tapi Kei tetap tidak bisa dihubungi. "Kenapa, ya?"
Decakan kesal Vania sontak mengudara, gadis itu melipat kedua tangannya di depan dada. "Ya udahlah, gue balik, kelamaan! Ini udah sore banget!" cetus gadis itu sebelum meraih tas sekolahnya.
Tangan Bagas secara refleks mencekal lengan gadis itu, "Balik sama gue."
"Ambil dulu motor lo di parkiran, gue tunggu di pos satpam." Vania mengedikkan bahunya singkat sebelum pergi mendahului Bagas.
Sambil melangkah, tangan gadis itu mengusap-usap bibirnya yang sedikit membengkak akibat ulang Bagas. Ia menghela napas panjang, "Dasar cowok, kalo sejak awal sukanya sama gue, ngapain dia malah pacaran sama cewek modelan si Kei?" gumamnya sangat pelan.
Kaki jenjang milik gadis itu terus melangkah hingga terhenti di pos satpam yang terletak tepat di samping gerbang sekolah, mendudukkan diri di bangku yang tersedia.
"Maaf, Mas, tapi semua siswa yang tidak memiliki ekstrakulikuler atau kepentingan lainnya sudah pulang sejak dua jam yang lalu."
Kerutan halus timbul di dahi Vania, matanya melirik pada pria berseragam satpam tengah berbicara dengan seorang pemuda tampan berkulit putih pucat.
"Bisa bapak cek adik saya masih di sekolah atau tidak?"
"Kalau saya boleh tau, nama adik Mas-nya siapa?"
Pemuda itu memampangkan ekspresi datar di wajahnya yang seputih salju. "Keiza Lovy Alditama."
"Hee?" Secara tak sadar, Vania mengangkat satu sudut bibirnya. "Itu kakaknya, toh?"
"Kelas berapa, Mas? Dan ... ekstrakulikuler apa?"
Vania bertopang dagu, mengamati Kenzo--Kakak Kei--yang nampak kebingungan dengan pertanyaan satpam itu. Gadis itu akhirnya bangkit, berjalan mendekati sosok Kenzo yang tak lagi bersuara. "Saya temennya Kei, Kak," celetuknya.
Kepala Kenzo langsung menoleh pada Vania, "Teman Keiza? Berarti Keiza memang masih di sekolah?"
Dalam hati Vania tertawa licik, "Hm, Kei? Saya kurang tau, sih, Kak, tapi kayaknya tadi Kei bareng Bagas—pacarnya."
"Hah ...." Dapat Vania lihat ekspresi di wajah datar itu berubah sedikit kesal. "Baik, terima kasih. Kalau begiru, saya permisi duluan."
"Dasar ... keturunan wanita murahan."
Seringaian di wajah Vania timbul, gumamnya yang sangat pelan dari pemuda yang ia ketahui sebagai Kakak dari Kei itu terdengar sampai pada telinganya.
"Woi, siapa, tuh?"
Vania tersentak, matanya mendelik pada sosok Bagas yang sudah terduduk rapi di atas motornya. "Abangnya Kei.
Sebelah alis Bagas terangkar, "Ngapain?" tanyanya dingin.
"Lo tau? Dia nanyain Kei, katanya Kei belum pulang!"
"Hah?" Genggaman tangan Bagas pada rem motornya mengerat. Sementara itu, Vania mengibas-ngibaskan tangannya, "Ya udahlah, gak penting juga!"
Gadis itu mengulurkan tangannya agar Bagas membantunya untuk naik ke atas motor, tapi Bagas malah melepaskan jaket yang melekat pada tubuhnya lalu memberikan jaket itu pada Vania. "Pake itu buat nutupin paha lo."
Dengan senyuman yang merekah, gadis itu mengambil alih jaket Bagas. Kepalanya tertunduk, membiarkan Bagas memasangkan helmet-nya.
"Ayo, naik!"
Barulah, tangan keduanya bertaut untuk mempermudah Vania naik ke atas motor. Perjalanan dimulai, ocehan-ocehan mulai menjadi pengisi perjalanan keduanya. Namun, tawa menggelegar yang keluda dari mulut Bagas tiba-tiba terhenti bersamaan dengan motor yang di-rem secara mendadak.
"Aduh ... Bagas, lo kenapa, sih?!" pekik Vania sambil mengusap-usap dahinya yang terantuk pada helmet pemuda itu.
Tak ada sahutan dari Bagas, pemuda itu menatap pada satu titik—pinggiran jalan di seberang mereka. Dengan kernyitan yang menghiasi dahi, Vania mengikuti arah pandang pemuda itu, senyuman remeh terbit begitu saja di wajahnya. "Hah, itu cewek sampah lo, kan? Haha ... ternyata dia main-main di belakang lo, Gas!"
Ya, pemandangan yang kini mereka lihat adalah Kei dan Daffa yang tengah menikmati matahari tenggelam di pinggrian jalan yang sepi.
Rahang Bagas mengeras, tatapannya berubah tajam. "Dasar cewek sampah! Murahan, Sialan!"
KAMU SEDANG MEMBACA
TITIK TEMU
Teen Fiction"Kita saling bertolak belakang, berjalan dengan arah berlawanan sampai tak menyadari bahwa kita telah mengitari takdir dan berakhir di sebuah titik temu." Bertolak belakang, sangat cocok untuk menggambarkan Kei dan Daffa. Bagaikan siang dan malam, k...