Cinta yang Diharapkan

71 16 4
                                    

"Bayangan kembali menelanku di penghujung hari, seseorang datanglah dan selamatkan aku."

-Keiza Lovy Alditama-

...

"Daff, mau ke mana?"

Langkah pemuda berkulit putih itu terhenti di anak tangga terakhir, ringisan kecil keluar dari mulutnya begitu mendapati seorang wanita paruh baya yang merupakan ibunya tengah berdiri sambil berkacak pinggang.

Menggaruk kepala yang tidak gatal, Daffa menampilkan cengiran khasnya, "Eh, i-itu, Bun, mau ... mau—"

"Mau apa kamu, hm?" Wanda, wanita paruh baya itu melangkah maju menghadapi anaknya yang sudah jauh lebih tinggi. "Daffa ... Bunda, kan, udah bilang sama kamu, stop cari masalah!"

"Ih ... kata siapa Daffa mau cari masalah? Daffa itu mau ngambil buku ke rumah  Edgar, Bun!" elak Daffa setengah merengek.

"Halah! Ambil buku, ambil buku ... gundulmu, ambil buku!"

Daffa memejamkan matanya, dahi pemuda itu sedikit mengernyit. Ia kesal karena ibunya terus menghalangi di saat yang tak tepat, tapi ia tak bisa marah. Senakal-nakalnya Daffa, ia tetap menyayangi keluarga.

Wajah Daffa berubah menjadi sedikit memelas, "Aduh, Bun ... iya, deh, Daffa jujur." Bibirnya mengerucut, "Daffa mau jemput temen, kasian dia jam segini masih di luar, gak ada yang bisa jemput pula."

"Temen kamu yang man—"

"Dia cewek, Bun, gak kasian?"

"Ya, suruh siapa cewek masih keliaran mala—"

"Bunda ...."

"Hah! Ya udah, sana! Inget, langsung pulang!"

"Yes!" Tanpa sadar Daffa melompat kecil dengan kedua tangan yang mengepal di udara, "Makasih, Bun! Bunda baik, deh! Daffa pamit, ya ...!"

Pemuda itu langsung berlari menuju garasi, tempat motornya berada. Sambil memakai helmet, pikirannya mulai melayang. Alasannya terburu-buru adalah Kei, seorang temannya menemukan Kei tengah berdiam sendiri di sebuah halte bus, dan Daffa jelas mengkhawatirkan gadis itu.

Dengan pikiran yang masih melambung, motor Daffa mulai membelah jalanan, "Gue udah berusaha untuk menghindar, tapi akhirnya kayak gini. Apa mungkin ini takdir?"

Motor Daffa berhenti di sebuah halte, tepat di hadapan seorang gadis bermata bambi yang menatap kosong entah ke mana.

"Lo ngapain, Kei?" Pupil mata hitam legam milik pemuda itu turun ke sebatang rokok di tangan Kei, "Lo ... ngerokok?"

Kei terdiam sejenak, mata bambinya menatap kosong Daffa seolah tengah menganalisis keadaan.

"Kei—"

"Nggak, gue gak ngerokok." Kei melempar batang rokok itu, "Ada baiknya kalo lo gak ikut campur dan tutup mulut lo," imbuhnya sebelum melangkah pergi begitu saja.

Untuk beberapa saat Daffa mematung, mencerna ucapan gadis itu. Tak lama, ia langsung berbalik ke arah motornya, menyusuri jalan pulang dengan pikiran yang masih meninggalkan raga.

"Lho, Daff? Kok, cepet?"

Deg!

Daffa akhirnya tersadar, ekspresi aneh di wajahnya berganti dengan wajah tak berdaya, "Daffa ditolak, Bun."

Meskipun kini Daffa tersenyum meremehkan sosok Vania, tapi dalam hati ia tertawa miris karena bayangan kejadian di malam sebelumnya kembali terputar bak kaset rusak.

TITIK TEMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang