Pemandangan Tak Pantas

47 10 3
                                    

"Berpegang pada kalimat cinta itu seperti berpegang pada sebuah ranting di tepi jurang, kita akan terjatuh jika ranting itu patah."

-Keiza Lovy Alditama-

...

Bel pulang sekolah baru berbunyi beberapa menit yang lalu, tetapi Kei sudah sibuk dengan benda pipih berbentuk persegi panjang di tangannya.

Kerutan halus timbul di dahi gadis itu, tangannya sibuk menari-nari di atas layar benda itu.

"Sibuk banget, Mbak!" celetuk Kinara yang sedari tadi menatap jengah Kei. Gadis itu ingin segera pergi dari kelas, tetapi Kei yang merupakan teman sebangkunga menghalangi jalan keluar.

Kei mendelik, telunjuknya ia letakan di depan bibir, "Diem, Nar, gue lagi fokus."

Mendadak Kinara menyesal karena memilih untuk duduk di bangku pojok yang langsung menempel ke jendela, itu karena hanya ada satu jalan untuk keluar dan kini Kei memblokirnya.

Dengkusan Kinara menggema, "diem, Nar, gue lagi fokus," cibirnya, "padahal cuma balesin chat dari si Bagas."

Di belakang kedua gadis itu, terdapat sosok Arsy yang menopang dagunya dengan kedua tangan. "Elah, lama banget, sih! Lo ngetiknya dieja dulu, ya, Kei?"

"Berisik, Ar! Lo kalo mau pulang, pulang aja!" sahut Kei tanpa mengalihkan atensinya.

"Ya, lo-nya minggir dulu, Bambang!"

Tangan jahil Kinara melayang, mencoba untuk memukul kepala bagian belakang Kei. Namun, gadis itu sudah lebih dulu bangkit dan memberi jalan.

"Ck! Sana, balik!"

Kinara mengepalkan tangannya yang masih melayang, "Lo sendiri gak balik, Nyet?"

"Nggak, gue mau ketemu Vania dulu."

"Hah? Ngapain?" sergah Arsy dan Kinara hampir bersamaan.

Kei menggendong tasnya sebelum berkata, "Bukan urusan kalian."

Mata Arsy membulat, "Jangan bilang kalo lo bener-bener mau minta maaf, Kei!"

"Wah! Beneran gue pukul pala lo kalo sampe kayak gitu!" timpal Kinara sambil mengambil posisi siap meninju Kei.

Tawa ringan Kei terdengar, "Nggak akan, udah ... sana balik!" elaknya.

Menggaruk kepalanya asal, "Hah ... terserah!" putus Kinara sebelum melangkah pergi begitu saja.

"Awas, ya, Lo!" ancam Arsy sambil melangkah dengan pandangan yang terus menyoroti Kei.

Tak menganggap serius ucapan keduanya, Kei hanya tersenyum simpul sambil melambai-lambaikan tangannya hingga kedua gadis itu menghilang di balik pintu.

Atensi gadis itu teralih pada layar ponselnya yang masih menyala-menampilkan pesan penuh tuntutan dari Bagas agar Kei segera meminta maaf pada Vania.

Gadis itu mengembuskan napas kasar sebelum memasukkan ponselnya ke dalam saku almamater, ia mulai bergerak meninggalkan kelas dengan langkah yang sangat pelan.

Genggaman tangan Kei pada tas semakin mengerat, seiring dengan langkahnya yang semakin mendekati kelas Vania. Namun, langkah itu mematung tepat di depan jendela kelas Vania.

Mata Kei membulat sempurna dengan pupil mata yang bergetar memandang lurus ke dalam kelas melalui jendela itu, jantungnya seolah dipaksa untuk berhenti-sama seperti langkahnya. Tanpa ia sadari, ada bendungan yang siap tumpah kapan saja di pelupuk matanya.

"Apa-apaan-"

Grep!

Semuanya hilang dari tatapan Kei, yang tersisa hanyalah kegelapan.

...

Asap mengepul keluar dari bibir tipis pemuda itu, mata elangnya menatap lurus pada bangunan sekolah yang terlihat mulai ramai karena bel pulang sudah berbunyi cukup lama.

"Sialan, pantesan aja kagak ada di kelas!" celetuk seorang pemuda yang baru saja datang dan membanting tas sekolahnya. "Lo kalo bolos ajak-ajak gue, dong, Daff!"

Daffa, pemuda itu hanya menatap sekilas temannya tanpa niat menyahut. Pemuda itu kembali menyesap batang rokok yang terselip di antara jari telunjuk dan jari tengahnya.

"Lo tau? Tadi ada ulangan harian dadakan! Mampus, lo bolos!"

"Gak peduli."

Edgar-lawan bicara Daffa itu-melipat kedua tangannya di depan dada, "Oh? Lo emang gak ada niat buat nyautin gue, ya, Setan?"

Daffa benar-benar tak menyahut.

"Yah ... sayang banget, padahal gue mau ngasih tau sesuatu tentang Kei."

Pergerakan Daffa terhenti, meta elangnya seketika menyorot tajam pada Edgar.

Pemuda lawan bicara Daffa itu berdecih, "Sayangnya tadi lo udah bilang gak peduli. Jadi, gak akan gue kasi-"

"Kasih tau gue atau gue masukin puntung rokok ke dalam mulut lo?"

"Anjing, sadis banget , Gila!" hardik Edgar, "kalo gue gak-"

"Kasih tau gue, Edgar!" potong Daffa penuh penekanan.

"Iye ... iye ... tadi gue liat Kei lagi jalan ke kelas Bagas, puas?"

Brak!

Daffa kontan bangkit sambil menendang tong sampah di hadapannya, tatapan pemuda itu berubah dingin.

"Ck, Kei ... kenapa, sih, lo malah jadi pengemis cinta kayak gini?" Mengusak rambutnya gusar, pemuda itu melangkah pergi bergitu saja."

"Ditambah lo ngemis cinta dari seorang bajingan!"

"Cih, gak guna!"

Gerutuan-gerutuan kecil tak henti keluar dari bibir tipis pemuda itu, langkahnya semakin lebar dan cepat.

Kepala Daffa menoleh ke sembarang arah, mencoba untuk menemukan Kei. Langkah lebarnya perlahan melambat begitu siluet seorang gafis tak asing berhasil ia temukan.

"Kei?" Sebelah alis Daffa terangkat, ada beberapa pertanyaan yang hinggap di kepala Daffa saat melihat Kei yang mematung di tempatnya sambil menatap lurus ke depan-tepat pada jendela kelas Bagas.

"Kei, lo ngapa-"

Ucapan Daffa terputus, tubuhnya ikut membeku setelah mengikuti arah pandang Kei. Sementara itu, tangannya mengepal sempurna dan kepalanya sibuk melontarkan seisi kebun binatang.

Bagaimana tidak? Di sana, di balik jendela itu, tepatnya di dalam kelas, Bagas dan Vania tengah sibuk saling menyatukan kedua bibir mereka tanpa menyadari lingkungan di sekitar.

Menekan emosi, atensi Daffa teralih pada Kei. Gadis itu masih berdiri kaku, menatap Bagas dan Vania dengan pupil yang bergetar hebat seolah pemandangan itu benar-benar menjadi bencana besar pada hatinya.

Tanpa sadar, sebelah tangan Daffa bergerak menutupi kedua mata gafis itu. "Pemandangan gak pantes yang dibuat oleh dua sampah itu, gak cocok diliat sama orang penting kayak lo, Kei."

TITIK TEMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang