06² : unconditionally

630 106 15
                                    

saran : putar sound di atas biar tambah kena feel-nya

Hyungseok dibawa kerumah sakit, sedangkan Jihoon berada di luar negeri tepatnya Amerika itu merasa sedikit aneh tentang perasaan nya. Dia menghela nafas panjang lalu membuangnya secara kasar. Berkali-kali, hingga ia menerima telepon dari seseorang.

Kim Junggoo menelponnya.

"Hallo?"

"Jihoon adek lo dilarikan ke rumah sakit!!"

Jihoon yang mendengarnya langsung panik bukan main, dia berlari menuju ke apartemen dengan tergesa-gesa. Ia tak memesan taksi, karena jaraknya yang dekat.

Sesampainya di apartemen, dia beradu mulut dengan managernya. Yah memang seorang rookie star yang baru debut seperti dia tak diizinkan untuk pulang dikarenakan job kerja.

Namun, bukan itu yang Jihoon mau.

Pemuda bersurai yang tadinya merah diombre dengan hitam yang sekarang menjadi pink itu berdecih kesal. Dia mengangkat satu kursi, lalu, ia lemparkan ke sembarang arah.

"Kang Dagyeom!!" Teriak sang manager.

"Apa?" Tanyanya santai. Dia kemudian mengambil tasnya, dan pasport untuk pergi kembali ke Korea. Dia mendorong tubuh manager itu, "jangan halangi gue, adek gue lebih penting daripada jadi model ngga jelas ini."

"Kau mau kemana? Keluar dari sini? Kau pasti akan menyesal"

Jihoon berbalik menatapnya tajam. "Menyesal? Bacot lo, manager sementara aja banyak tingkah."

••🎗️••

"Kenapa? Kenapa lo ngga ngomong apa-apa ke gue?" — Lee Jihoon.


Park Hyungseok di diaksona mengalami Skizofrenia Paranoid. Jihoon yang mendengarnya dari perkataan dokter itu terlihat cemas dengannya, dikarenakan hanya satu alasan.

Skizofrenia penyakit ini tak dapat di sembuhkan.

Dia duduk di samping Hyungseok, yang menggunakan alat bantu untuk pernafasannya. Dan suara Suara nyaring dari alat pengukur jantung dengan urat-urat Hyungseok.

 Dan suara Suara nyaring dari alat pengukur jantung dengan urat-urat Hyungseok

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jihoon tak baik-baik saja.

Sangat tak baik-baik saja.

"Bego. Lo kenapa nggak ngomong sama gue kalo lo menderita Skizofrenia?" Jihoon berucap, dia mulai cemas sekaligus over thinking dengannya. Suara nyaring itu, jujur saja dia takut mendengarnya. "Lo jahat banget sama gue. Mana janji lo yang katanya mau jadi adek yang baik buat gue?" Tanyanya dengan mata yang kendur.

Dia berkata kembali, "lo katanya ngga mau ninggalin gue? Lo bohong. Nggak elo, ngga bunda, ngga ayah, semuanya sama. Kalian bertiga sama-sama pembohong." Jihoon yang mengatakan itu, melirihkan intonasinya di kalimat terakhir.

Dia menunggu Hyungseok bamgun, namun, ia sendiri yang terlelap di samping Hyungseok. Dengan tangannya yang ia gunakan sebagai bantalan.

"Kak Jihoon" bisik Hyungseok, ah dalam mimpi saja ia bertemu dengan bocah itu.

Lama-kelamaan tubuh Hyungseok menjauh, Jihoon mengejarnya hingga akhirnya ia peluk erat-erat tubuh sang adik. Tak mengizinkannya untuk pergi.

"Kak Jihoon maaf ya, tapi, tugas gue udah selesai kak. Gue harus pergi."

Tidak, Jihoon tak menginginkan ucapan itu, dia langsung memeluknya dengan erat erat namun lama-kelamaan tubuh Hyungseok menjadi sedikit transparan. Dan bukan hanya itu, ada sang papah di sampingnya. Jinyoung.

Jihoon bertanya dengan logat yang kesal. "Kenapa papa sama Seok ninggalin gue?!" Bentaknya.

Sang ayah yang memakai baju kedokteran itu mengulas senyum. Dia berucap dengan lembut kepada Jihoon, "Jihoon, tugas papah mu sama Seok sudah selesai—" ucapan Jinyoung terpotong saat Jihoon terkekeh menutupi bagian matanya yang tiba-tiba meneteskan air mata.

"Tugas? Tugas lo berdua? Tugas apaan. Gue kesepian bego!" Celetuknya, tak terima masih dengan kekehan.

"Lo berdua ninggalin gue, mamah juga..." Dia tertunduk diam. Lalu, bayangan transparan dari sang papah itu menghampirinya. Menepuk-nepuk punggung nya.

Jihoon kembali meneteskan air matanya, dia rindu—sangat sangat rindu dengan sosok itu. Sosok sang papah yang selalu berada di sampingnya.

"Pah... Jihoon kesepian,"

"Pah... Jihoon pingin ada di samping kalian—" nafasnya tercekat saat mengatakan itu, dia menyambung omongannya. "—walaupun itu mati sekalipun."

"Papah tau Jihoon sayang sama papah kan?—" omongannya terpotong dengan sahutan dari papahnya. Jinyoung.

"Bocah bodoh." Kemudian, Jinyoung memeluk tubuh Lee Jihoon. Jinyoung berucap kembali, "keluarkan." Perintahnya, kemudian Jihoon yang selama ini tak pernah meneteskan air mata itu menangis di pelukan hangat sang papah.

Jihoon mengumpat, terus menerus mengumpat dan mengabsen kebun binatang. Dia marah, kecewa, haru. Campur aduk. Dia mendongak, bertanya kepada Jinyoung. "Pah apa gue nggak boleh ada di samping kalian?"

"Kamu mau mati?" Tanya Jinyoung enteng. Dia menimpali lagi, "kalo kamu mau mati, silahkan. Tapi, bukannya masih banyak negara yang belum kamu jelajahi?" Tanya Jinyoung, kemudian mengusap pipi sang anak pertama itu dengan tangannya.

"Jangan mati bodoh. Tugasmu masih banyak," kemudian, datanglah Hyungseok dan mencubit pipi kanan sang kakak. "Cieee nangis cieee" ejek Hyungseok.

"Bacot, kan gue kangen papah."
"Kenapa? Kenapa lo ngga ngomong ke gue kalo lo punya penyakit skizofrenia?"

Sebelum Hyungseok menjawab pertanyaan, dia mengulas senyum manisnya. Dia menjawabi, "simpel kak. Gue nggak mau ngerepotin lo dengan kondisi gue yang sakit-sakitan."

The Sun [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang