Second Life

125 9 2
                                    

Semuanya membuatku bingung. Aku mencubit bahkan menampar pipiku sendiri. Sakit. Berarti ini bukanlah mimpi. Lalu, kenapa mereka memanggilku dengan sebutan Yura dan apakah Dokyeom itu benar-benar nyata.

Aku bergegas pergi ke kamar mandi. Namun, tunggu. Saat melewati pantulan cermin wastafel. Aku kembali melangkah mundur. Berusaha tidak takut dengan siapa yang terlihat di cermin tersebut. Mata berwarna coklat, hidung mancung, wajah tirus, rambut pendek dan badan yang mungil. Masih tidak percaya jika ternyata yang aku lihat dicermin ini adalah diriku di kehidupan kedua ini.

Wajahku kenapa jadi seperti selebgram korea. Tidak asing dengan rupa diriku sendiri. Aku seperti pernah melihatnya. Nama Yura juga. Sepertinya aku harus menanyakan beberapa informasi mengenai diriku dan juga orang-orang sekitarku.

"Ayo sarapan dulu, sayang. Mama udah masakin makanan kesukaan kamu, tuh." kata mamaku sembari meletakan panci berisikan soto ayam di meja makan.

Aku yang baru saja menapakkan kaki di ruang makan yang super mewah ini sangat terkagum. Jika begini, bisa-bisa jiwa introvertnya malah semakin menjadi-jadi. Dia akan betah berlama di dalam rumahnya sendiri.

"Makasih, ma."
"Oh iya, sekarang tanggal berapa?" tanyaku.
"10 Mei. Hari ini kan hari pertama adek kuliah."
"Hari? Tahun?" tanyaku lagi.
"Hari Senin Tahun 2022. Adek kayak ga pernah lihat kalender aja, nih. Handphone adek gak ada tampilan tanggalnya, ya?"

Handphone? Hampir saja aku lupa membawanya. Bisa dilanda penuh kebosanan jika aku sampai lupa membawanya. Siapa tau melalui handphone ini juga aku mendapatkan banyak informasi mengenai diriku sendiri.

Aku pergi ke kamarku di lantai atas untuk mengambil handphone yang ada di meja samping kasur. Lalu, kembali ke meja makan. Memakan masakan mamaku yang rasanya masih sama persis dengan masakan mamaku dulu. Hanya saja makanan kesukaanku sebenarnya adalah nasi goreng. Tapi, aku bersyukur masih bisa merasakan ini semua.

"Aku udah selesai makan, ma. Yura, pamit, ya. Mau ke kampus takut terlambat."
"Kebetulan, tuh. Dokyeom udah di depan. Kalian hati-hati dijalan, ya."
"Aku berangkat sama dokyeom, pa?"
"Loh, bukannya emang adek yang pengen berangkat sama dia dibanding diantar mobil pribadi?"
"Eh, ehm. Oh iya, pa. Yura baru inget, hehe. Yaudah Yura berangkat dulu ya pa, ma."

Setelah memastikan semua barang penting sudah kubawa, aku pergi kedepan dan melihat seorang lelaki dengan helm di kepalanya sedang duduk diatas motor sport dan menunggu. Dari posturnya bukankah dia bisa menjadi model karena badannya yang tinggi dan ramping.

"Maaf agak lama. Tadi habis beres-beres dulu karena takut ada barang yang ketinggalan." kataku pada lelaki di depanku yang masih bergeming, tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
"Makasih." kataku lagi setelah dia menyodorkan helm yang ukurannya sangat pas dengan kepalaku.

Sebenarnya aku kurang suka menaiki motor sport. Karena tubuhku yang mungil ini selalu kesusahan setiap kali naik dan turun dari motor tersebut. Terutama apabila memakai rok. Usaha yang keluar bisa dua kali lipat hanya untuk menaiki motor sport itu. Untung saja, kali ini aku memakai celana.

Fyuhh. Setelah berada diatas motor. Orang yang dipanggil Dokyeom ini langsung menggas motornya cepat namun masih membuatku nyaman. Hanya saja, setiap kali dia mengerem. Aku sangat berjuang menghindari tubrukan ke punggungnya. Motor sport ini membuatku kesulitan mencari pegangan agar tetap dalam posisi duduk tegak.

"Pegang pundak gue aja. Nanti kalo lo jatuh kebelakang lagi, gue sendiri yang repot nyembunyiin kondisi lo dari orang tua lo." katanya yang akhirnya bersuara namun cukup samar karena helmnya dan suara jalanan yang bising.

Jatuh? Lagi? Bukankah maksudnya aku pernah terjatuh dari motor ini. Namun kenapa Yura masih mau diantar olehnya. Pasti Dokyeom ini merupakan orang spesial Yura. Kalau jadi diri aku, aku lebih memilih diantar jemput oleh supir pribadiku dibanding kesusahan menaiki motor sport ini.

My Life is Based on a FanfictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang