❍ Jenar Radeva

591 106 32
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

JENAR menghela napas.

90. Adalah hasil nilai ulangan matematika yang Jenar dapat hari ini. Pemuda itu mengusak rambutnya kasar, terlihat kecewa akan hasil yang ia dapat.

Jenar mencari letak kesalahannya, siapa tahu sang guru tidak teliti mengoreksi, lalu ia merutuki diri karena teledor dengan jawaban nomor lima yang seharusnya minus. Hanya kurang minus, sungguh.

"Bodoh, teledor! Gue udah bekerja keras, tapi kenapa sih hasilnya nggak memuaskan?!"

Jenar meremas kuat kertasnya, lalu ia buang ke tempat sampah. Percuma saja belajar mati-matian semalaman. Ia tidak dapat nilai sempurna. Karena bukan itu yang orang tuanya inginkan.

Mereka hanya ingin Jenar mendapatkan nilai sempurna, tidak peduli jika anaknya itu tertekan mati-matian.

"Apa-apaan nilai segini? Segitu susahnya dapat nilai seratus?"

"Kapan kamu bisa bikin ayah bangga, Jenar?"

"Makanya belajar!"

"Usaha lebih keras, dong! Biar nggak malu-maluin ayah di depan keluarga besar!"

Berbagai ucapan itu berdenging di kepala Jenar terus-menerus. Ayah selalu menuntut Jenar tanpa tahu jika Jenar telah berusaha sekeras yang ia bisa.

Pemuda berkaca mata tersebut melangkah pergi menuju kamar mandi, ia mematut bayangannya di cermin, kemudian tertawa pedih. Jenar merasa kalau ia sudah bekerja keras untuk mengikuti ujian ini, tapi lagi-lagi ketidakpuasan yang ia temui.

Jenar masuk ke salah satu bilik kamar mandi. Duduk di toilet bermenit-menit lamanya. Ia menghiraukan suara bel yang berdering. Bagi Jenar, kamar mandi adalah tempat terbaik untuk meluapkan isi hati.

Dirogohnya sebuah benda dari saku celana. Ia menatap cutter itu seksama. Entah mengapa cuma hal ini yang membuat perasaannya membaik. Bukan pertama kali Jenar melakukan barcode, bahkan terbilang sering.

Satu goresan tercipta, darah merembes dari balik kulitnya. "Ini buat gue yang nggak bisa bikin ayah bangga."

Belum mengering luka itu, Jenar justru menggoresnya lagi. "Ini buat gue yang bodoh dan nggak guna."

BRAKK!

Hendak saja Jenar melakukan yang ketiga kali, tiba-tiba saja pintu kamar mandi didobrak paksa. Rai muncul dari sana, pemuda itu terhenyak dan langsung saja melempar cutter berlumuran darah yang Jenar pegang.

"Jen! Apa-apaan lo?!"

"Biarin gue, jangan ikut campur, Rai."

Rai yang mendengar itu menukik alisnya tak percaya. Ia menjawab penuh amarah, "Jelas gue berhak ikut campur! Gue temen lo, mana mungkin gue biarin lo nyakitin diri sendiri kayak gini." Ia menghela napas. Memijat keningnya. "Jen, lo udah janji bakalan berhenti. Jangan jadikan diri sendiri sebagai pelampiasan."

EvakuasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang