❍ Sachio Narendra

416 68 9
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

LAGI. Ada cairan berwarna merah mengotori wastafel di hadapannya.

Sachio bahkan tidak bisa menghitung berapa kali ia mimisan dalam satu pekan. Rasa-rasanya setiap hari tubuhnya makin berat, ia merasa lebih sering kelelahan.

Awalnya Sachio pikir, mungkin itu efek dari sibuknya kegiatan dia dalam sehari. Sekolah, kerja paruh waktu, belajar, mencari informasi perihal keberadaan sang ibu, lalu kembali sekolah dan semua itu dilakukan dia setiap hari. Karena hal tersebut, Sachio tidak sempat mengurusi dirinya sendiri.

Pemuda itu menatap pantulan diri di cermin. Darah segar masih mengalir meski telah ia bersihkan sedari tadi. Sachio menghela napas, ia benci melihat dirinya selemah ini.

"Gue cuma capek. Gue butuh istirahat. Gue baik-baik aja. Gue nggak apa-apa."

Pemuda itu terus menggumamkan kata-kata yang sama berulang kali. Meyakinkan dirinya bahwa tidak akan ada hal buruk yang terjadi. Tapi tetap saja, tubuhnya yang terasa lelah tidak bisa membohongi itu semua.

Selama hidup, Sachio merasa tak tenang sebab belum mengantongi informasi secuil apa pun mengenai ibunya yang mendadak pergi lima tahun lalu.

Sang ibu yang meninggalkannya tanpa sepatah kata, tanpa kata selamat tinggal, tanpa memberi tahu alasan mengapa ia meninggalkan Sachio sendirian.

Bagaimana dengan ayahnya? Dari lahir Sachio tidak tahu siapa ayahnya dan bagaimana wujud rupanya, bahkan suaranya saja tak pernah ia dengar, karena ibu tidak pernah mengenalkan ayah pada Sachio sama sekali.

Sejujurnya, pada tahun pertama dan kedua selepas ditinggalkan, Sachio sempat membenci ibunya. Ia bahkan pernah berpikir; untuk apa dia dilahirkan jika tidak mereka inginkan? Atau mungkin karena Sachio hanya menjadi beban bagi ibunya, itu mengapa beliau meninggalkan Sachio sendirian?

Entahlah, pemikiran-pemikiran buruk itu kerap kali datang waktu tengah malam, ketika dunia senyap tapi kepalanya berisik sampai ia sendiri merasa kewalahan.

Untuk membiayai dirinya sendiri, Sachio mulai mencari pekerjaan paruh waktu, pernah ia menjadi pengantar koran tiap pagi, mengayuh sepedanya kala mentari belum menunjukkan rupa. Ia juga pernah menjadi pegawai minimarket dan mendapat shift kedua. Pekerjaannya mulai sekitar pukul tiga sore sampai sebelas malam. Biasanya Sachio akan tiba di rumah pukul setengah dua belas. Sayangnya, ia tidak bisa langsung tidur sebab Sachio harus mengerjakan PR-nya. Semua itu selesai pukul dua pagi, itulah waktu di mana Sachio bisa tidur dan berisitirahat.

Semua itu ia jalankan selama bertahun-tahun. Sering sekali Sachio merasa iri pada teman-temannya yang punya banyak waktu untuk bermain, sedangkan ia menghabiskan seluruh waktunya dalam sehari untuk bekerja dan belajar. Kadangkala, Sachio merindukan masa di mana ia bisa bermain bebas, sebuah masa sebelum sang ibu meninggalkannya.

Di tahun ketiga, ia sempat merasa putus asa. Pemuda itu bahkan pernah mengurung diri di rumahnya tanpa keluar sama sekali. Berhari-hari tidak ada kabar sampai teman kerja Sachio mencurigai hal tersebut dan berinisiatif menemuinya.

EvakuasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang