❍ Nalesha Kavi

444 79 15
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

BAGI Nale, keluarga adalah sesuatu yang membuat hidupnya terasa lebih utuh. Namun, bagaimana jika arti "keluarga" itu sendiri adalah perihal pindah dari rumah satu ke rumah yang lain?

Alih-alih merengkuhnya dalam hangat, ia justru terlanjur penat. Sebagai anak adopsi, Nale telah berulang kali mencicipi berbagai macam pola asuh. Mulai dari mereka yang punya adat istiadat tersendiri, sampai mereka yang menjalani prinsip hidup bebas asal tidak menentang norma.

Seperti yang sebelum-sebelumnya, Nale sudah tidak terkejut lagi bila esok ia akan berpijak pada rumah yang berbeda. Berbagai alasan dari orang tua angkatnya sudah biasa Nale maklumi. Mulai dari mereka yang punya konflik hebat sampai bercerai, mereka yang beralasan tidak bisa lagi menghidupi Nale dengan berdalih ekonomi berantakan, mereka yang ... entahlah, tiba-tiba saja memutus kontrak adopsi begitu saja.

Terkadang Nale merasa ... hidupnya itu untuk apa? Dioper sana-sini bak bola, tidak ada rumah yang menerimanya untuk jangka waktu lama, ia seakan menjadi boneka mainan. Pernah juga Nale diam-diam tahu ada salah satu keluarga yang mengadopsinya dengan tujuan agar biaya pajak penghasilan mereka berkurang dan mendapat bantuan. Tapi perihnya lagi, mereka justru memperbudaknya, menjadikannya pembantu gratisan. Sedangkan uang bantuan itu tak pernah Nale cicip sama sekali.

Akhirnya, Nale sudah tidak sanggup. Ia memutuskan untuk memberontak keluar, pergi ke mana saja asal tidak di rumah itu. Berbekal lima pasang pakaian dan uang yang diam-diam ia tabung---hasil kembalian beli barang---Nale menjebol jendela kamarnya dan pergi di tengah malam.

Waktu itu sebenarnya ia tak tahu harus pergi ke mana. Kakinya melangkah tanpa arah. Tanpa alas kaki, dan tanpa tujuan.

Nale merasa tak apa jika ia harus tidur di jalanan, yang terpenting dirinya tak terbelenggu dalam penjara---yang konon mereka sebut sebagai rumah. Memikirkannya saja, Nale geli sendiri. Bagaimana bisa ia dulu bersedia diadopsi padahal tahu jika akhirnya akan dikembalikan ke panti lagi?

Sebagian orang gila. Gila harta, gila jabatan, gila kekayaan, mereka adalah orang-orang yang paling buruk yang pernah Nale temui.

Lalu entah bagaimana kakinya berakhir di depan sungai yang mengalir. Arusnya menenangkan bak usapan ibunda, pemuda itu lantas duduk di bebatuan. Suara hatinya berkata, "Sepertinya lebih baik direngkuh oleh air, maka aku tak akan berakhir disia-siakan lagi."

Nale kemudian merogoh sesuatu di saku. Mengamati sebuah foto yang orang-orang bilang jika itu adalah ibunya. Entahlah, Nale tak yakin sebab ia belum pernah menjumpai sang ibunda.

Setidaknya ia sudah pernah melihat sang ayah dan diasuh sampai umur tujuh tahun. Ya, sampai suatu ketika, sang ayah juga meninggalkan ia, tapi berakhir sangat mengenaskan.

Kala itu, Nale kecil tengah tersenyum memandangi sebuah kotak kado bertuliskan, "Selamat ulang tahun, semoga diberi panjang umur, terima kasih karena tetap hidup. Berbahagialah selalu." yang diberikan oleh gurunya. Itu adalah kado pertama kali bagi Nale selama seumur hidupnya.

EvakuasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang