❍ Laksamada Hansa

462 79 22
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

RUMAH bagi Laksamada adalah ricuh. Setiap hari telinganya tak lekang dari suara-suara ribut sang papa dengan mama. Entah apa yang selalu mereka persoalkan, Mada meredam semua itu dengan earphone yang menyumbat telinga. Lagu Rehat milik Kunto Aji selalu ia putar. Setidaknya dengan itu, ia sedikit tenang.

Mada masih ingat, bagaimana dulu keluarganya amat begitu harmonis. Setiap akhir tahun atau liburan semester kedua orangtuanya sering membawa ia dan sang kakak--Kalandra--liburan. Ke mana saja yang Mada inginkan. Menghabiskan waktu bersama dengan gurau dan candaan. Tapi semenjak hari itu, semenjak sang kakak laki-lakinya meninggal. Semuanya berubah.

Liburan akhir tahun yang seharusnya menjadi hal yang membahagiakan justru membawa duka yang berujung nestapa. Umur Mada tujuh tahun dan kakaknya menginjak sembilan tahun saat itu. Mereka tengah menghabiskan waktu piknik di hari yang cerah--peralihan musim hujan ke kemarau. Mada suka bermain bola. Tapi sekarang, bola adalah barang yang membuatnya mengingat trauma. Karena seandainya Mada tidak menendang bola ke tengah jalan dan seandainya saat itu Kalandra tidak mengambilnya sendirian, mungkin saja keluarga mereka akan tetap utuh.

Mada ingat bagaimana Kala mencegahnya berlari ke tengah jalan dan justru mengajukan diri, "Tunggu di sini. Biar Abang ambil." Dengan senyum yang menghiasi wajah berlatarkan guguran daun, dan sinar matahari yang menerpa, hangat. Ia bahkan sempat menepuk pucuk kepala Mada.

Semuanya terjadi begitu cepat. Merenggut kebahagiaan dalam sekejap. Di trotoar jalan, Mada menunggu Kala mengambil bola, tapi sial, keduanya tidak menyadari jika dari arah kiri ada mobil yang melaju sangat cepat. Mada berteriak ke arah sang kakak untuk segera menghindar. Namun, tidak sempat.

Ia terperenyak beberapa saat setelah melihat bagaimana Kala terpelanting ke jalan dengan darah yang bercucuran. Tubuh Mada melemas, setelahnya ia tidak mendengar suara apa-apa selain teriakan panik orang-orang sekitar dan sisa-sisa suara tabrakan. Terus menggaung di telinga bak mimpi buruk. Tatapan matanya kosong. Ia tidak mampu menjawab pertanyaan papa mama yang memaksanya menjelaskan hal yang ia lihat. Karena sungguh, jika saja mereka berada di posisi Mada, mereka pasti tidak bisa menceritakannya. Terlalu sulit, terlalu menakutkan.

Mada benci akan sumpah serapah, teriakan, dan suara keras barang-barang yang dibanting menjadi pelampiasan. Tapi orang tuanya tidak pernah mau tahu. Yang mereka selalu ributkan satu sama lain adalah ketidakbecusan mereka menjaga sang anak. Saling menyalahkan tak henti-hentinya. Penyesalan yang hanya bisa mereka ratapi tiap hari.

Sampai sekarang, Mada terus menyalahkan dirinya sendiri atas kematian sang kakak. Ia benci bagaimana dia hanya bisa diam tanpa berbuat apa-apa ketika melihat Kala dalam keadaan bahaya.

Papa dan mama memang tidak bercerai. Tapi di dalam rumah, mereka sudah tercerai berai. Tidak pernah ada titik temu atas masalah yang mendera, selalu meributkan semua hal. Telinga Mada berisik, kepalanya jauh lebih berisik. Earphone yang menyumbat telinga dengan volume paling keras tidak berarti apa-apa.

EvakuasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang