Part II

40 1 7
                                    

Ismail berjalan dengan gontai kemudian menghempaskan badannya disamping Shafa. Pemuda berseragam abu putih itu kemudian meletakan kepalanya diatas meja. Shafa hanya melirik kelakuan pemuda itu tanpa menghiraukannya.

" Kak, lapar," ucap Ismail merajuk.

" Ya udah sana makan," Jawab Shafa tanpa menoleh. Ismail mema iajukan bibirnya.

" Pengen spaghetti carbonara," ucapnya lagi masih dengan nada merajuk.

Shafa tersenyum simpul melihat kelakuan adek satu satunya itu.

" Biar mbak Nur yang buatin, kakak masih sibuk nih," Ismail memajukan bibir tebalnya.

" Jangan manyun gitu ah, masih banyak pelanggan," Shafa memberi isyarat pada Ismail.

Ismail mengikuti arah pandangan mata Shafa, memang masih banyak orang yang datang ke toko roti mereka untuk mengambil pesanan. Belum lagi para pelanggan yang datang untuk makan di tempat. Memang sejak 2 tahun ini Shafa menyulap teras rumah mereka menjadi toko roti kecil. Dan sekarang Shafapun menyediakan tempat untuk para pelanggan bisa menikmati roti dan kue mereka ditempat.

Semua roti dan kue yang dijual adalah buatan umi, mereka dibantu 4 orang karyawan. Dua orang membantu didapur sementara 2 orang lagi membantu melayani para pelanggan. Sementara Shafa sendiri bertindak sebagai kasir, merangkap marketer dan admin toko.

Meskipun keluarga mereka terkenal sangat religius tapi Shafa sendiri adalah gadis yang sangat supel, banyak temannya yang datang dan akhirnya mempromosikan toko rotinya secara sukarela. Bahkan dari hasil mengelolah toko roti ini Shafa sudah bisa membantu Abinya membayar uanc kuliah. Karena kemandiriannya inilah banyak ibu ibu pengajian teman uminya yang kemudian berebut mengenalkannya dengan anak lelaki mereka.

" 2 waffle dan satu cappucino," tiba tiba seseorang menjeda rajukan Ismail.

Shafa mengalihkan pandangannya kearah si empunya suara. Dada Shafa sedikit berdesir aneh saat melihat Amar berdiri didepan meja kasirnya. Dan tentu saja pipinya kembali bersemu merah beruntung ada cadar yang menutupi wajahnya.

" 45 ribu," ucap Shafa sembari meletakan struk pembelian diatas meja kasir.

Amar mengeluarkan selembar uang 100 ribuan dan mengulurkannya pada Shafa. Ismail yang duduk disebelah Shafa dengan cekatan mengambil uang tersebut. Amar tampak memandangnya dengan pandangan sedikit tidak suka.

" Maaf, silahkan letakan uangnya dimeja kak," ucap Ismail sembari menunjuk papan diatas meja kasir mereka.

Amar melirik sekilas papan itu dan mendengus kesal. Jual mahal sekali jadi orang, pikirnya.

" Kembaliannya kak silahkan," ucap Ismail dengan sopan sembari mengulurkan uang kembaliannya pada Amar.

Amar menerima uang kembaliannya kemudian membawa nampan berisi waffle dan segelas cappucino dingin kesudut ruangan. Dia memang berniat untuk tetap tinggal disana. Setidaknya dengan memakan pesanannya didalam toko dia bisa lebih lama melihat Shafa dari jarak yang cukup dekat.

Ismail beringsut mendekati Shafa.

" Itu kak Amar kan?" tanya Ismail sembari menatap kearah Amar yang sedang menikmati makanannya.

Shafa mengangguk perlahan. Yah hampir semua orang ditempat mereka mengenal Amar. Dia cukup terkenal sebagai badboy dan playboy yang tajir dan ganteng. Banyak gadis gadis yang dengan rela mengantri untuk bisa sekedar jalan bareng dengan Amar. Meskipun Amar sendiri tidak pernah sekalipun serius dengan semua gadis gadis yang sudah sering dia kencani.

" Aku perhatikan dia sering kesini sekarang," Ismail memicingkan kedua matanya.

" Masak sih?" ucap Shafa dengan nada sebiasa mungkin.

Kalau Ismail tahu bahwa Amar suka datang ke mesjid setiap harinya hanya untuk diam diam memperhatikan dia mengajar ngaji anak anak, bisa berabe. Abi pasti tidak akan mengijinkannya mengajar anak anak lagi. Lalu kalau Abi tahu Amar sering datang ke toko rotinya gara gara Shafa gimana? apa mungkin Abi juga bakal menutup toko rotinya.

" Kak, malah ngelamun sih, aku jadi curiga deh," Ismail menautkan 2 alisnya.

" Jangan suudzon," ucap Shafa sembari menoyor kepala adiknya.

" Kakak nih, tuh lihat kak Amar kesini lagi tuh, pasti mau minta nomer hp kakak," ucap Ismail setengah berbisik.

Amar memang sudah menyelesaikan makannya dan kembali lagi mendekati meja kasir. Shafa menyenggol lengan kanan Ismail agar pemuda itu mengontrol ucapannya.

" Bisa pesan antar yah?" tanya Amar sesampai di depan mereka.

" Bisa," jawab Ismail.

" Kamu nggak bisa ngomong yah?" ucap Amar dengan nada jengkel sembari menatap Shafa dengan tajam.

" Bisa kak," jawab Shafa dengan sopan.

" Pesan kemana?" tanya Amar sembari mengeluarkan ponselnya.

" Ini kak, nomer toko," Shafa meletakan sebuah kartu nama diatas meja tepat didepan Amar.

Amar berdecak sedikit kecewa, padahal dia berharap bahwa Shafa akan memberikan dia nomer ponselnya.

" Yah udah deh," ucap Amar sembari mengambil kartu nama itu dengan sedikit kesal.

" Makasih yah kak, silahkan datang kembali," ucap Shafa seperti biasa saat ada pelanggan yang pulang.

" Tuh kan bener omongan Ismail, kak Amar ngarep nomer telponnya kak Shafa," Ismail tersenyum menggoda kakaknya yang udah manyun aja bibirnya.

***

Amar berjalan mendekati pak Amin yang sedang mencuci mobil.

" Pak, mau 200 ribu nggak?" Amar mengibas kibaskan uang 200 ribu didepan wajahnya.

" Wah mau mau mas," Ucap Amin dengan mata berbinar.

Amar mengulurkan uang itu kearah Amin, dengan cepat Amin ingin segera mengambil uang itu dari tangan Amar, tapi Amar lebih sigap menjauhkan uang itu dari jangkauan Amin.

" Nggak gratis nih," ucap Amar kemudian.

Amin terlihat sedikit kecewa, karena kalau Amar udah ngasih tugas pasti tugasnya rada rasa beresiko.

" Emang tugasnya apa kali ini mas?" tanya Amin penasaran.

" Ajarin aku cara jawab salam," Amin menatap Amar sedikit terkejut dengan permintaan anak bosnya ini.

" Jawab salam mas, salam yang bagaimana, salam metal mas?" tanya Amin kebingungan.

" Ngaco ah, salam yang itu lho apa namanya yah," Amar terdiam sejenak tampak mengingat ingat sesuatu.

" Yang ada lamkum lamkumnya gitu," Amin tertawa geli mendengar ucapan Amar.

" Malah ketawa, duitnya gak jadi nih," ucap Amar sembari berpura pura akan menyimpan kembali uangnya kedalam saku.

" Eehh, jangan mas jangan, maksudnya Assalamualaikum?"

" Nah, itu dia, gimana tadi?" mata Amar berbinar cerah.

" Assalamualaikum," ucap Amir sekali lagi.

" Duh susah banget, tulisin aja deh, sekalian jawabannya," ujar Amar sembari menyerahkan 2 lembar uang seratus ribuan kearah Amin.

" Tumben nih mas Amar belajar ngucapin salam segala, lagi ngejar cewek yah," Amar memutar bola matanya dengan malas menanggapi omingan Amin.

" Udah deh pak Amin jangan banyak tanya," Amin tersenyum penuh arti, seumur hidupnya mengabdi pada keluarga Amar baru kali ini Amar belajar mengucap salam.

Dalam hati Amin mengucapkan doa semoga Amar tercerahkan hatinya.

" Jangan jangan naksir anak mesjid yah mas? mas Amar kan sekarang sering tuh dateng ke mesjid tiap abis ashar," tanya Amin masih saja penasaran.

Amar mendengus kesal mendapati sopir pribadi ayahnya yang makin kepo itu.

" Dah ah, banyak ngomong pak Amin nih, siniin tulisannya," Amar menyambar secarik kertas dari tangan Amin kemudian berlalu masuk rumah.

***

Assalamualaikum.
Siapa yang mau ngajarin mas Amar membaca salam dengan benar xixixi. Semoga nanti pas ketemu mbak Shafa udah bisa yah jawab salamnya yah.

ShafaWhere stories live. Discover now