Amar mengamati beberapa nama diponselnya. Ada beberapa kandidat yang seharusnya bakal mau mengajarkan dia cara sholat dan sebagainya. Tapi apa benar ini yang diinginkannya. Bagaimana kalo dia sudah tidak lagi tertarik sama Shafa. Apa meninggalkan kesenangan yang selama ini dia jalani adalah keputusan yang tepat. Amar merebahkan badannya keatas tempat tidur. Kejadian bersama Shafa kembali berputar ulang dalam memorinya.
***
"minggir," bentak Amar dengan kasar saat Shafa berusaha menolongnya.
Bahkan tangannya yang menepis tangan kanan Shafa membuat cadar yang dikenakan Shafa terbuka sehingga dia dengan jelas bisa melihat wajah gadis itu. Shafa mundur beberapa langkah dengan pandangan cemas tapi juga ketakutan. Mata gadis itu tampak khawatir dengan keadaannya.
"aku telponin Nando yah," tawar Shafa saat melihat darah mengucur dari dahi dan pelipis Amar.
"gak perlu, aku bisa sendiri," ujarnya sembari berjalan dengan sempoyongan menuju motornya yang tergeletak beberapa langkah darinya.
Tapi setelah 2 langkah kepalanya terasa berdenyut hebat, matanya berkunang kunang dan dia pingsan.
Saat tersadar Amar sudah berada diruangan rawat sebuah rumah sakit ditemani Nando.
"siapa yang bawa aku kesini?" tanya Amar sembari memegangi kepalanya yang masih berdenyut.
"cewek ninja itu sama Finna, lalu dia telpon aku karena dia bilang dia gak bisa nunggu lama lama di rumah sakit," Amar terdiam, dia sudah kasar pada gadis itu, tapi dia tetap menolong Amar dengan membawanya ke rumah sakit.
"dia juga bayarin beberapa biaya rumah sakit sebelum papimu datang," Amar menatap Nando dengan tatapan tidak percaya.
"kok bisa cewek ninja itu yang bayarin, kamu kemana?"
"yaelah bang, santai napa, aku belum datang waktu itu, dia telpon ambulance dan ngurus semua administrasi kamu, bahkan jadi penjamin juga, biar kamu lekas ditangani," Nando diam sejenak.
"aku dah nawarin buat balikin duitnya tapi dia nolak, dia bilang duitnya gak seberapa, lagian dia juga ikhlas nolongin kamu," ucap nando panjang lebar.
***
Amar memejamkan matanya, tiba tiba bayangan Shafa melintas dalam pikirannya."drrtttt drrttt," tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.
Shaf Bakery
"kak Amar mau dikirim jam berapa pesanannya"
Amar tidak segera menjawab pesan singkat itu. Dia memutuskan untuk menelpon. Pada nada dering ketiga sambungan telponnya terhubung.
"hallo, assalamualaikum," sapa sebuah suara disebrang.
Dada Amar berdetak sedikit lebih kencang dari biasanya.
"hai Shaf," Sapanya dengan nada selembut mungkin.
Hening, tidak ada sahutan dari seberang.
"Shaf, kamu masih disana?" tanya Amar penasaran, karena tidak mendengar suara apapun.
"Assalamualaikum kak Amar, pesananya mau dikirim jam berapa?" tiba tiba suara Ismail terdengar menggantikan suara Shafa.
"kok kamu sih?" tanya Amar sedikit jengkel.
"iyah kak, kak Shafa dipanggil sama Abi,"
"alasan," dengus Amar kesal.
"bilang sama kakakmu suruh jawab telponku atau aku bakal temuin abimu,"
"MasyaAllah kak Amar mau ketemu abi ngapain?" tanya Ismail terdengar suaranya sengaja dikeraskan mungkin supaya terdengar oleh Shafa.
"ngelamar kakakmu," jawab Amar sekenanya.
"apa ngelamar kak Shafa," ulang Ismail masih dengan nada yang sengaja dikeras keraskan.
Kemudian kembali hening, Amar tidak mendengar respon apapun dari sebrang. Jujur kondisi itu sangat menyebalkan buatnya.
"assalamualaikum," suara Shafa kembali terdengar.
Mata Amar membulat dengan senyum mengembang penuh kemenangan.
"waalaikumsalam," jawabnya dengan bangga.
Dia yakin Shafa pasti gak bakal menduga kalau dia sudah fasih melafalkan salam. Gak rugi dia tiap malam belajar mengucap salam.
"pesanannya mau diantar jam berapa? maaf kemarin mbak Nur lupa nanya," suara Shafa terdengar lagi.
Entah kenapa tiap kali mendengar suara Shafa hatinya berdesir aneh.
"sekarang bisa?" tanya Amar mencoba sok cool, padahal dari tadi jantungnya sudah tak sesuai dengan irama yang wajar.
"bisa, nanti aku suruh Ismail_"
"kamu aja yang antar," potong Amar.
"nggak bisa aku_"
"atau aku bakal temuin abimu," belum selesai Shafa menjawab Amar kembali memotong ucapan Shafa.
Shafa terdiam sejenak
"iyah baik aku antar sehabis sholat jumat, kamu sholat jumat juga kan?" giliran Amar yang terdiam, bingung harus menjawab apa.
"ehmm, iyalah ini mau berangkat," jawab Amar berbohong.
"Alkhamdulillah, yah sudah aku tutup telponnya, Assalamualaikum,"
"waalaikum salam," Amar menutup sambungan telponnya kemudian meloncat loncat kegirangan.
***
Amar dengan segera turun dari kamarnya menuju gerbang depan saat pak Amin bilang ada yang mengantar kue. Tak lupa dibawanya paperbag coklat yang sudah dia siapkan sejak tadi. Akhirnya dia bisa ngobrol lebih dekat dengan Shafa pikirnya. Tapi saat tiba didepan gerbang dia kembali mendengus kecewa.
"Assalamualaikum kak," sapa Ismail sembari tersenyum lebar.
Amar berdecak kecewa, saat menerima kue pesanannya.
"loe lagi loe lagi," ucap Amar dengan kesal.
"kak Shafa yang anter," Ismail memberi isyarat pada Amar dengan jari telunjuknya, menuju sebuah mobil warna hitam. Tampak Shafa berada dibelakang kemudinya.
Shafa menunduk sopan saat Amar melihatnya. Amar menghela napas panjang.
"nitip buat kakakmu, bilang ini sebagai ganti ucapan terima kasih karena udah nolongin aku, kalo gak mau terima aku bakal nitipin ini sama om Ilham," nada suara Amar tampak sangat mengancam.
Ismail tersenyum kemudian memgangguk perlahan. Setelah mengucap salam dan berpamitan dia melangkah masuk mobil. Shafa menatap paperbag coklat ditangan Ismail penuh tanya.
"apa itu Il?" tanya Shafa penasaran.
"oh ini dari kak Amar, katany buat kak Shafa sebagai ucapan terima kasih karena udah nolongin kak Amar," Ismail mengulurkan paperbag coklat itu kearah Shafa.
"kenapa diterima Il," ucap Shafa sedikit kesal.
"karena kalo nggak Ismail terima dia bakal nitipin ini sama abi, kak Shafa mau gitu kak Amar nitip ini ke abi?" Shafa mendengus kesal, dia gak habis pikir dengan perbuatan Amar yang terus terusan mengganggunya.
"buka kak, aku kepo sama isinya," Ismail tertawa ngakak sementara Shafa makin cemberut.
Shafa menjalankan mobilnya perlahan. Sejenak dia menatap kearah Amar yang belum juga masuk kedalam rumah. Shafa menganggukan kepalanya pada Amar untuk berpamitan, disambut lambaian tangan Amar.
***
Shafa menatap sebuah khimar dan niqob berwarna abu dusty. Shafa tersenyum sendiri, jujur untuk seorang Amar, khimar dan niqob ini cukup bagus. Shafa jadi penasaran apa ini dia beli sendiri. Shafa kembali tersenyum geli.
"ehem, senyum senyum terus dari tadi kak," tiba-tiba Ismail sudah berada dibelakangnya.
"Ismail ngagetin deh," ucap Shafa malu karena ketahuan senyum senyum sendiri.
"dipakai kak niqobnya," ujar Ismail sembari tersenyum menggoda.
"apaan sih," Shafa memajukan bibirnya beberapa senti.
Sementara adiknya sedang menertawainya.
***
YOU ARE READING
Shafa
RomanceShafa seorang gadis periang, kehidupannya sama seperti kehidupan gadis remaja pada umumnya. Mempunyai kedua orang tua yang sangat menyayanginya, mendidiknya dengan kepahaman agama dengan sangat baik. Dia gadis yang bukan hanya diidamkan para lelaki...