Bukan dendam yang membuat diri tak bisa menerima, tetapi ingatan yang terlanjur senang menjadi obyek utama.
~Gehna~
***
Malam yang sunyi mengusik pikirannya kembali. Senyap kamar yang hanya terdengar detakan jarum jam dinding tak mampu menyadarkan semua isi kepala. Riuh di dalamnya, tak terlihat tenang seperti di luarnya.
Gehna mengusap air matanya yang sudah membasahi kedua pipinya. Bantal dan guling pun juga ikut merasakan air mata itu. Ia kembali mengingat perkataan ibunya untuk tak mengulangi hal seperti ini lagi.
"Maaf, Ibu, putrimu ini tidak bisa menepati janjinya. Gehna sudah berusaha untuk tidak kepikiran bahkan tidak ada niatan untuk mengingat masa lalu itu. Tapi sepertinya trauma ini belum mau meninggalkan Gehna. Ibu ... Gehna juga capek seperti ini setiap hari, Gehna merasa tak berdaya. Rasanya aku ingin tidur tanpa terbangun lagi."
Air matanya kembali deras. Tak ada satupun orang yang mampu menghiburnya. Gadis itu hanya sendiri, menahan nyeri dada akibat sesak napas, menahan sakit akibat tremor pada jari tangan yang tak bisa berhenti, memeluk tubuh sendiri sembari menatap langit yang ia lihat di balik jendela kamarnya. Ia kembali mengepalkan kedua tangan sangat erat, lalu memukul-mukul bantalnya berulang kali hingga puas.
Tangis tanpa suara, tanpa teriakan. Padahal rasanya semua telah meluap. Sakit, hal itu benar-benar membuatnya tersiksa. Malam itu ia kembali meratapi nasib buruknya dengan tangis yang tak kunjung mereda.
Dini hari dengan jam dinding menunjukkan pukul 04.00 WIB. Gehna terbangun dari tidurnya. Posisi terakhir yang ia sadari adalah terlentang di atas lantainya yang dingin. Ia berdiri lalu menatap wajahnya yang sembab.
"Bengkak lagi," ucap Gehna menepuk-nepuk pipi kanannya.
Ia memutari sebagian helaian rambut yang sedikit lebih panjang daripada bulan lalu. Mencoba menarik secara perlahan agar kulit kepala tak terlalu sakit. Kemudian ia beralih pada laci kecil untuk mengambil sebuah gunting. Alat yang selama ini selalu menjadi saksi ketidakberdayaan tubuhnya. Alat yang menjadi pelarian dari kejenuhan yang sudah tak bisa diungkapkan.
Helai demi helai telah ia gunting, hingga rambutnya pun kembali pendek seperti semula. Entah sejak kapan ia suka rambut pendek. Bahkan, dapat dibilang saat ini sangat pandai memotong rambut secara rapi karena terlalu seringnya memotong rambut sendiri.
"Dengan begini, bukankah sedikit lebih lega? Oke, mari mulai kepura-puraan ini lagi. Ayo senyum! Semoga efek semalam tak sampai kebawa ke sekolah."
***
Gehna melangkahkan kedua kakinya menuju kelas sambil menunduk. Bukan hal aneh lagi bagi semua penghuni sekolah yang melihatnya berjalan seperti itu. Banyak yang mengatai gadis itu sebagai orang yang aneh. Yah ... jarang berkomunikasi dengan sesama, tidak pernah senyum ataupun tertawa, tidak pernah menatap seseorang, tidak punya teman, judes, dan banyak yang menganggap dia sangat apatis.
Semua tidak mau berteman dengannya. Namun, bagi Gehna itu adalah hal yang baik. Dia memang tidak ingin bersosialisasi dengan siapapun. Kecuali di saat tertentu saja seperti menawarkan dagangan atau harus berbicara dengan gurunya.
Berbeda dengan teman-teman yang lain. Yuki justru lebih sering mendekati Gehna. Tidak ada niat jahat, dia hanya ingin berteman dengan Gehna, dia ingin menebus semua kesalahan keluarganya di masa lalu. Yuki hanya ingin merubah Gehna untuk kembali seperti dulu lagi. Gehna yang ceria, Gehna yang aktif, dan Gehna yang sangat cerewet.
"Gehna!"
Suara khasnya terdengar di telinga Gehna. Ia menoleh ke arah pintu kelas dan mendapati Yuki yang senyum-senyum melambaikan tangan. Seperti biasa dia tidak merespon apapun yang Yuki lakukan. Namun, Yuki tetap pantang menyerah ia terus berusaha mendekati Gehna.
"Hai ... gimana kabar lu sekarang?" tanya Yuki dengan santainya meletakkan tangan kirinya ke bahu kanan Gehna.
"Tanganmu- tolong turunkan!" perintah Gehna tak menatap Yuki.
"Ah, sorry. Emmm, mata lu bengkak, apa semalam lu nangis lagi?" tanya Yuki berbisik agar semua murid yang ada di dalam kelas tak mendengar. Gehna tak menjawab, dia justru menyibukkan diri untuk membaca buku pelajaran.
"Lu kenapa?" tanya lagi Yuki. Gadis itu tampaknya tak menyerah.
"Gehna ...." Suara pelan dan lembut serta sentuhan halus yang Yuki berikan tetap tak membuat Gehna menyahutinya.
"Gehna, apa lu-"
"Bisa diem gak sih?! Berisik tahu gak!" Gehna mulai berteriak yang membuat semua murid di kelas menatap ke arah mereka.
"Sorry, tapi gua cuma khawatir sama lu," kata Yuki.
"Khawatir kamu bilang? Aku gak butuh itu semua! Kenapa sih kamu selalu ganggu hidup aku? Apa belum puas luka dalam 8 tahun lalu yang keluarga kamu buat, hah?! Sekarang, kamu mau nambah luka itu lagi? Iya?!" Tatapan mata Gehna berubah tajam. Terlihat dendam di bola matanya yang membuat semua murid terheran-heran atas perubahan mimik wajahnya.
"Gehna, lu ... tahu gua?" tanya Yuki yang sedikit terkejut atas pernyataan Gehna.
"Iya! Aku tahu siapa kamu sebenarnya. Kenapa, kaget yah? Kamu pikir selama ini aku gak tahu kalau kamu itu ternyata anak perempuan bertubuh gemuk yang hampir mati karena diperkosa? Apa dengan perubahan tubuhmu yang seperti ini aku jadi lupa? Enggak! Aku tahu semuanya, aku sangat ingat wajah orang-orang yang membuat ayahku mati atas kesalahan yang tak pernah dia perbuat. Aku ingat semuanya. Lalu kamu tanya kenapa wajahku selalu bengkak seperti ini? Iya! Itu semua karena kamu! Kamu yang membuat aku ingat akan masa lalu itu! Kenapa kamu harus hadir lagi? Kenapa?! Aku benci sama kamu Yuki. Aku benci!!!"
Emosi Gehna sudah tak tertahan lagi. Ia sangat membenci hidupnya yang seperti ini. Ia sangat membenci sikapnya yang seperti ini. Ia sangat membenci segalanya yang ada di dunia ini. Gehna lalu pergi ke luar kelas meninggalkan Yuki yang terdiam seperti patung, meninggalkan semua teman-temannya yang terkejut atas apa yang telah terjadi di pagi ini.
"Sabar ya Yuki ... Gehna emang begitu orangnya," ucap salah satu teman sekelasnya.
"Iya. Gehna emang begitu, jadi biarkan saja dia. Jangan temenan sama dia terus," timpal teman satunya.
"Bener banget tuh. Dia anak yang aneh, anti sosial, eh, sekarang malah marah-marah gak jelas."
Semua orang menyalahkan Gehna tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Yuki hanya mampu diam, tubuhnya terasa kaku, dia tak percaya ternyata Gehna selama ini mengenalnya.
'Maaf, Gehna. Gua salah,' lirih batinnya.
Bel pelajaran pertama telah berbunyi. Bu Dian selaku wali kelas telah masuk. Ia menilik setiap muridnya dan langsung sadar bahwa anak kebanggaannya-Gehna tidak masuk pagi ini.
"Gehna ke mana?" tanya Bu Dian.
Semua diam tak menjawab. Karena memang tidak ada yang tahu gadis itu pergi ke mana.
"Di UKS, Bu," jawab Yuki akhirnya yang membuat semua teman-temannya geleng kepala.
"Di UKS? Apa dia sakit?" tanya lagi Bu Dian.
"Tadi Gehna bilang maghnya kambuh, Bu. Jadi saya menyarankan untuk tidur dulu di UKS," jawab Yuki berbohong lagi.
"Oh, baiklah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Diam & Air Mata Gehna [Novelet]✓
Ficção AdolescenteDunia memang sekejam ini, tetapi kita tidak layak menjatuhkan diri pada masalah yang telah berlalu. Rasa terpuruk mungkin dialami oleh beberapa orang. Tidak memandang siapapun, mulai dari muda hingga tua, mau laki-laki ataupun perempuan. Gehna-gadis...