bintangnya kak jangan lupa
-
Dibanding pertanyaan, "apa kamu punya sebuah mimpi?" Kalan lebih suka mendengar pertanyaan, "kamu pernah nggak merasa ingin mati?"
Yang kedua terdengar jauh lebih realistis dibanding pertanyaan pertama. Bukan karena Kalan nggak punya mimpi atau cita-cita, tapi mau diusahakan sejauh apa, beberapa hal nggak selalu bisa digapai meski sudah berusaha.
Kesannya pesimis ya? Padahal, Kalan cuma ingin tau diri aja.
Namun walau begitu, dari kelas satu SD sewaktu Ibu Guru bertanya apa cita-cita Kalan, jawabannya selalu sama. Kalan ingin jadi dokter. Bukan karena jas putihnya kelihatan keren waktu melekat di badan, atau karena dokter biasanya jadi sosok yang dihormati banyak orang. Tapi dokter, kelihatan seperti malaikat yang dikirim Tuhan pada suatu malam untuk bertanya pada Kalan, "Kamu lagi sedih, ya? Mau permen, enggak?"
Saat itu, Bunda nggak lagi tidur di karpet rumah sakit seperti biasa, atau terdiam menatap satu sisi tembok dengan mata kosong yang acap kali menyuratkan sedih berlebih.
Wanita itu pergi entah ke mana, tengah malam ketika Kalan terbangun tiba-tiba, tidak ada presensi Bunda seperti biasa. Mudah saja untuk membuat sedih seorang anak yang dalam periode hidupnya terbiasa sendiri hingga terus menelan berkodi-kodi sepi selayaknya satu barel adiksi.
Kenapa ya kesedihan harus datang secepat kilat yang menyambar pada hari berhujan?
Di tirai sebelah, masih terdengar suara percakapan yang jadi sebab kenapa Kalan bangun. Kali ini, mulai terdengar suara tangis perempuan. Kamar kelas dua yang letaknya di Bangsal Kamboja ruangan nomor 52, cuma diisi oleh dua pasien. Mulai besok, Kalan tau kalau dia bakal sendiri untuk waktu yang semoga tidak lama lagi. Dia ingin pulang, nggak kangen rumah, kok. Tapi melewatkan malam berlalu di rumah sakit bukan hal yang menyenangkan buat dilakukan.
Kalan nggak suka kamar kelas dua. Kadang, dia ingin serakah untuk dapat kamar kelas satu seperti adiknya. Dirawat Papa, dibelikan makanan kesukaan dan dipanjatkan doa-doa baik supaya cepat sembuh. Kamar kelas dua identik dengan orang-orang yang silih berganti, bisa pergi begitu saja, atau berhenti tiba-tiba semau mereka, lalu menyebabkan tangis berkepanjangan dan lebih sedih dari rangkaian nada-nada minor mana pun di dunia.
"Loh, kok belum tidur?"
Suara dokter yang menyapa telinga, serta pendingin ruangan yang lebih dingin dari biasanya, adalah sebuah kombinasi untuk diam membeku dan tidak tau harus bereaksi apa.
"Eh?"
"Bundamu ke mana? Biasanya ada."
Kalan menggeleng, dia benar-benar nggak tau.
"Dok, aku bakal meninggal, ya?"
Kali ini, gantian si dokter yang terkejut. Tangis di bilik sebelah masih belum mereda ketika anak itu bertanya.
"Kamu lagi sedih, ya? Mau permen, enggak?"
Kalan menerimanya sewaktu si dokter menyodorkan tiga buah permen Yupi Strawberry Kiss.
"Habis ini tidur, ya? Jangan mikir yang aneh-aneh, apalagi tanya ke orang lain soal kematian."
Bocah itu mengangguk.
"Tangannya jangan banyak gerak ya, nanti darah kamu naik ke infus lagi."
Kalan masih ingat bagaimana surainya diacak saat itu. Lalu senyumnya mengembang sesederhana lengkung pelangi yang muncul sehabis hujan.
Esoknya, pasien sebelah sudah pindah ruang. Dokter Leon nggak terlihat lagi. Tapi Kalan harap, pasien itu baik-baik saja.
Sehari setelah itu, sepulang dari rumah sakit, Kalan merasa, dia mulai punya sebuah mimpi. Sederhana saja. Dia ingin jadi dokter, satu hal yang tidak pernah dia katakan kecuali pada guru semasa sekolah dasar. Bukan untuk berdiri di belakang meja operasi atau kelihatan keren sewaktu memakai snelli. Ini alasan paling acak yang pernah ada, dia ingin jadi seseorang yang berdiri di samping, menemani kesedihan orang lain dan menyelamatkan seseorang. Soalnya ditinggalkan lalu berakhir kesepian, itu hal yang paling enggak diinginkan sama semua orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dainty Child - Hunsoo
De TodoMay we raise children who love the unloved things---the dandelion, the worms and spiderlings. Children who sense the rose needs the thorn and run into rainswept days the same way they turn towards sun. And when they're grown and someone has to speak...