Prolog

27 6 0
                                    


“Anda pasti mengerti maksud saya.” Seorang pria paruh baya memberi isyarat pada orang di sebelahnya. Mengerti dengan isyarat yang diberikan, dia langsung mengeluarkan sesuatu dari dalam tas hitam yang dijinjingnya.

“Tulis berapa pun yang Anda mau.” Pria itu tersenyum—dibuat setulus mungkin, menyodorkan lembaran kertas pada pria yang duduk di seberangnya.

Lawan bicaranya mengambil lembaran kertas di atas meja. Memperbaiki posisi kacamata, lalu menghela napas panjang.

“Sudah berapa kali saya bilang, saya tidak bisa menerimanya.”

“Seratus juta? Oh, satu miliar, cukup?”

Si lawan bicara menggeleng, tersenyum prihatin.

“Atau Anda ingin menjadi kepala daerah ini? Saya bisa melakukannya untuk Anda.” Pria paruh baya kukuh merayu.

“Maaf, Tuan. Saya tidak mungkin melanggar prinsip yang selalu diwanti-wanti oleh paman saya.”

Pria paruh baya mendecak dalam hati, otot wajahnya samar-samar terlihat tertarik. Bahkan, keponakannya pun menolak tawarannya.

Dengan mengkal, dia menarik kembali lembaran kertas itu dan memberikan pada orang di sebelahnya untuk disimpan lagi.

“Saya harap Anda tidak menyesal. Permisi.” Pria paruh baya bangkit dari kursi, diikuti lawan bicaranya yang adalah tuan rumah.

Mereka bertiga keluar dari ruang baca—tempat yang digunakan untuk membicarakan hal rahasia. Tuan rumah mengantar tamunya sampai di depan mobil. Setelah mobil tamunya sudah meninggalkan pekarangan rumah, dia kembali masuk ke ruang baca. Dia menghubungi pamannya untuk memberitahukan perihal percobaan penyuapan.

Sebenarnya ini bukan kali pertama, sebagai keponakan dari seorang hakim agung, rumahnya sering didatangi oleh orang-orang kalangan borjuis.

Pamannya adalah seorang hakim agung yang kondang dengan prinsip keadilannya. Tak sedikit petinggi-petinggi partai yang terjerat korupsi bernasib masuk bui dikarenakan ketokan palunya.

Ribuan cara telah digunakan oleh para koruptor untuk menyuap hakim agung yang kondang itu, tapi tak sekali pun berhasil menaklukannya.

***

Di atas dashboard mobil, asisten pria paruh baya borjouis itu menemukan secarik kertas. Dia menyerahkan pada atasannya.

Pria paruh baya membeliak membaca kalimat yang ada di secarik kertas tersebut, setelahnya tersenyum miring.

***

Berita terbaru mengenai seorang tahanan meninggal dunia dalam kondisi lebam dan patah tulang. Kepolisian membantah akan dugaan penganiayaan, mereka mengonfirmasi bahwasanya tahanan meninggal dikarenakan sakit jantung. Warganet ramai mengomentari berita tersebut.

Di sebuah ruangan gelap seorang pria berusia pertengahan dua puluhan, menggeram. Dia baru saja membaca berita yang sedang ramai diperbincangkan itu.

Layar monitor dari komputer menerangi wajah pria itu. Ada raut kesal dan selarik sendu di sana. Tangannya meraih gumpalan kertas di atas meja. Membuka kembali kertas yang sudah dia remas-remas sebelumnya.

Tak perlu mencemaskanku. Kalaupun takdirku mati, aku akan mati dengan damai. Aku sudah memberikan data penting itu pada orang yang tepat. Aku mengandalkanmu, Raam.

“Dasar tolol,” Raam mendesis. Sebelumnya dia sudah membaca surat itu beberapa kali. Selalu sama, matanya lagi-lagi mendanau.

“Akan aku habisi bedebah-bedebah itu. Aku bersumpah!” Bibirnya bergetar, satu butir air matanya jatuh tak terkendali. Dengan cepat Raam menyekanya. Bahkan ketika seorang diri, dia malu jika air matanya terjatuh.

MUSLIHAT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang