Bab 6: Bukan Pertemuan yang Diharapkan

5 3 0
                                    

Dari kejauhan asap hitam sudah terlihat membumbung. Kecemasan dan ketakutan mencengkeram dada, membuatnya tersengal-sengal. Menyeka peluh di dahi, dia mempercepat langkah kaki.

Sepuluh meter lagi, semakin dekat semakin memutus harapan. Matanya nanar, napas menderu-deru. Dadanya terasa penuh dan panas.

Kini dia telah berdiri satu meter dari kayu yang gemeretuk dilahap api. Harapan benar-benar luluh lantak.
Tulang-tulang di tubuhnya sesaat terasa tidak berfungsi. Lemas, dia jatuh berlutut. Berteriak keras merobek heningnya malam. Di sela-sela pepohonan burung hantu menyahut dengan uhu panjang. Memilukan.

Tangannya mencengkeram rumput kuat-kuat. Penyesalan menggiringnya masuk ke lubang kehampaan.
Untuk kedua kalinya dia kehilangan orang yang disayang. Dia membenci kehidupan ini, dia membenci dunia yang dipenuhi oleh orang-orang keji-sekalipun dia sudah termasuk dalam golongan itu-apa pun alasannya, dia tak jauh beda dengan orang-orang yang dibencinya.

Dia berteriak keras sekali lagi. Embusan angin menyapu wajahnya yang basah. Derik suara serangga dan lenguhan binatang mengiringi kepiluannya.

Bagaimanapun, yang terbaik adalah kau berhenti mengunjungiku. Semakin sering kau datang ke tempat ini, besar kemungkinan akan ada orang lain yang mengetahuinya.

Sepandai-pandainya tupai melompat, dia akan terjatuh juga.

Suara-suara itu seakan menggali telinganya. Menolak lupa atas kecerobohannya yang tidak bisa menangkap kecemasan di wajah gadis bersuara lembut itu.

"Kei." Lirih dia menggumamkan nama sang pujaan hati.

"Kei." Menggumam lagi, getar suaranya terdengar amat merana. Bahunya berguncang.

Di hadapan sisa puing-puing kayu yang telah menjadi bara, dia membiarkan air matanya berjatuhan. Satu tangannya menyentuh dada, sesak tak terkira. Sesuatu yang sangat berharga seolah baru saja ada yang merebut paksa.
Dia telah kehilangan separuh hatinya. Bagaimana dia akan menjalani hidup dengan hati yang tersisa hanya setengah?

"Kei!" Dia meraung, memanggil nama yang telah pergi. Jauh tak tersentuh.

Tersedu-sedu, memejamkan mata menahan sakit yang mengigit-gigit.
Bertahun-tahun air mata yang disimpan, kini mengalir deras membentuk aliran sungai di wajahnya.

Kali ini saja, dia tidak ingin mengenal rasa malu, menumpahkan seluruh kesedihan atas kehilangan untuk kedua kalinya-yang ternyata berkali-kali lipat sangat menyesakkan.

Suara mendengking mengagetkannya, pelan-pelan membuka mata. Cahaya matahari menyelinap masuk dari gorden yang tidak tertutup rapat.
Tangannya bergerak menyentuh pipi. Basah.

Sudah lama kenangan pahit itu tidak menghantui tidurnya. Kali ini datang lagi. Dirinya yang menangis di dalam mimpi ternyata menangis juga di dunia nyata.

Tom memejamkan mata rapat-rapat. Di kedalaman hatinya dia menggumamkan nama sang kekasih dengan suara yang amat lembut. Butuh waktu yang panjang untuk memulihkan diri dari kenangan pahit.

Suara purba dalam dirinya seolah memanggil dan memberikan kekuatan untuk bangkit. Selama kurang lebih lima tahun dia adalah seorang pemberani, dengan tangan dingin menghabisi bedebah-bedebah yang telah merenggut orang terdekatnya, maka, tak seharusnya dia sekarat lama-lama hanya karena sang pujaan hati telah pergi mendahului ke alam sana.

Dengkingan alarm berhenti. Tom bangkit dari tempat tidurnya. Hari ini dia berencana pergi ke perpustakaan tempat Emir sering berkunjung.

***

Tidak ingin terjebak macet, Tom memilih menggunakan kendaraan roda dua. Setibanya di gedung perpustakaan, pengunjung sudah ramai. Petugas yang kemarin, senyum-senyum melihat Tom, masih mengingat wajahnya.

MUSLIHAT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang