Bab 1: Surel Misterius

22 5 0
                                    

Aku menemukan tentang dirimu melalui sebuah buku yang aku baca di perpustakaan. Kisah yang terdengar omong kosong. Berani bertaruh, di zaman ini nyaris dikatakan tidak akan ada yang percaya tentang legenda seorang pembunuh bayaran sepertimu. Tom. Bersama organisasimu, kau mendirikan kantor konsultan keuangan semata untuk kamuflase.

“Atasi masalah Anda dengan bayaran yang pas!” masihkah kau ingat dengan slogan eksentrik ini?

Sudah satu dekade berlalu, menikmati ketenangan jauh dari dosa masa lalu. Aku meminta maaf karena surel ini pastinya mengusik masa istirahatmu, tapi aku tidak punya pilihan lain. Kau adalah orang yang paling tepat untuk membantuku. Tidak ada yang lebih baik selain dirimu: Tom, atau Raam—nama aslimu, seorang spesialis kriminal, pembunuh terbaik yang memiliki insting seorang detektif. Dr. Watson sahabat Holmes, mungkin akan marah jika ada seseorang yang memiliki bakat seperti sahabatnya justru digunakan untuk menghabisi nyawa orang lain demi pundi-pundi uang. Beruntung kau tidak hidup di zaman mereka, Tom. Karena jika kau hidup di zaman itu, aku yakin Sherlock Holmes akan menguak seluruh dosa-dosamu. Membuatmu beristirahat di dalam penjara dan membusuk di dalamnya. Entah apa yang membuat semesta membiarkan kriminal sialan sepertimu beristirahat dengan damai di pusat kota. Apakah mungkin supaya aku bisa dengan mudah menemukanmu?

Cukup sampai di sini basa-basi busuk ini. Aku akan memulai membahas pekerjaan untukmu.

Aku bersumpah, semua orang membenciku, bahkan Yura—rekan kerjaku yang selalu berperan dengan apik sebagai sahabat terbaik. Dia amat membenciku malah. Sifatnya yang lemah lembut, terlihat tidak akan berani membunuh seekor lalat pun, kadang-kadang membuatku ragu, apakah orang seperti dia sanggup mengangkat senjata dan mengayunkannya ke leherku?

Tak jarang aku melihat tatapan kebenciannya yang tak sengaja tertangkap basah olehku. Ada banyak sebab yang membuatnya benci setengah mati padaku, salah satunya karena aku memacari cinta pertamanya.

Seseorang pasti akan menganggapku jahat karena merebut cinta pertama sahabat sendiri. Silakan jika semua orang menilai demikian, aku hanya tak sampai hati melihat seorang laki-laki yang memohon-mohon agar aku menerima cintanya.

Masalah seperti ini agaknya terlalu sepele untuk membuat seseorang memiliki keinginan membunuh. Ada hal lain yang menggangguku, sebuah alasan yang lebih kuat. Namun, aku tidak tahu—atau lebih tepatnya tidak yakin. Dan aku ingin kau mengungkap alasan yang sebenarnya untukku.

Inilah petunjuk pertama, selanjutnya silakan baca berita di surat kabar daring yang terlampir berikut ini.

….

Wajah pria berusia empat puluhan itu mengeras. Dia, Tom, mulai membaca potongan berita yang terlampir di surel untuknya. Itu berita dua hari lalu.

Pengirim surel itu tidak diketahui, tapi sepertinya dia tahu banyak tentang Tom dan masa lalunya.

Selesai membaca potongan berita tersebut, Tom menggulir layar ke bawah. Di sana tersemat kalimat bernada ancaman: Kau harus mengerjakan semua ini untukku, jika tidak, aku akan menguak seluruh dosa-dosamu di masa lalu. Ketahuilah, aku memegang kunci rahasia yang mungkin kau tidak tahu kalau kunci itu pernah ada dan sangat berharga nilainya. Sebuah kunci rahasia tentang dirimu dan tentang kekasihmu.

“K-Kei ….” Suara Tom tercekat. Matanya membelalak, jantungnya baru saja berdegup hebat.

Terlepas dari tuntutan pekerjaan yang baru saja dialamatkan padanya, orang di balik pengirim surel menjadi target penting bagi Tom. Demi apa pun, ketika isi surel menyebut tentang kekasihnya, mendadak Tom menganggap surel itu serius sekali.

Orang itu, mungkinkah tahu banyak tentang Kei? Mengetahui sesuatu yang selama ini mengganggu pikirannya?

***

“Aku tak habis pikir, mantan seorang spesialis kriminal akan memercayai surel random seperti itu. Tak jelas siapa pengirimnya. Itu tak jauh beda dengan surat kaleng, Tom.”

Lepas mendapat surel bernada perintah dan ancaman itu, esok harinya Tom melakukan pertemuan dengan salah seorang teman lama. Saat ini mereka tengah duduk santai di kafe epicentrum seberang apartemen Tom.

“Lalu, bagaimana dia bisa tahu nama Kei? Tentang organisasi kita? Apakah menurutmu itu bualan dari seseorang yang kebetulan sama dengan fakta tentang kita?” Tom memandang lawan bicaranya dengan raut muka datar, tapi dengan nada suara penuh penekanan. Yang dipandang mengulas senyum tipis.

Dari penampilan mereka berdua, sama sekali tidak terlihat seperti mantan organisasi pembunuh bayaran, pun dari mimik wajah dan gestur tubuhnya, tidak terlihat sedang membicarakan hal penting terkait masa lalu gelap itu.

Bahkan dulu ketika mereka masih melakukan pekerjaan kotor, mereka lihai memerankan sebagai warga sipil biasa.

“Sahabatku yang baik, rupanya kau masih belum bisa melupakan Kei. Membuatmu sentimental dan buta akan keganjilan kalimat di awal pembuka surel itu. Perhatikan baik-baik, ‘aku menemukan tentang dirimu melalui sebuah buku yang aku baca di perpustakaan’. Apakah maksud orang itu sejarah tentang kita ada yang diam-diam menuliskannya dan menjadikannya sebuah buku? Diletakkan di perpustakaan? Membiarkan cerita legenda pembunuh bayaran menjadi konsumsi publik?” Teman Tom tergelak sampai menepuk-nepuk ujung meja.

Tom berkedip, kepalanya tergerak sedikit, seperti baru tersadarkan akan sesuatu berkat kata-kata temannya.

“Jika memang buku itu ada dan tersedia di perpustakaan, aku ingin sekali meminjamnya. Ingin tahu bagaimana si penulis menggambarkan tentang kita, diriku terutama. Apakah aku digambarkan sebagai seorang pembunuh bayaran yang tampan?” Teman Tom terkikik.

“Sudah kukatakan padamu. Lekaslah cari perempuan lain. Mengurung diri dalam masa lalu memang berpotensi membuat otak seseorang menjadi tumpul. Lihatlah teman kita si Ben, dia hidup tenang dan bahagia, telah jauh meninggalkan masa lalu. Anaknya sudah dua, jagoan semua. Kau tidak ingin seperti dia, Tom?”

Tom mengembuskan napas kasar. “Aku menemuimu bukan untuk membahas kehidupan orang lain.”

“Kau tidak bahagai melihat teman kita bahagia?”

“Hentikan celotehanmu, Axel.” Tom menyesap kopinya, meletekkan cangkir ke meja sedikit keras.

Axel menyeringai. “Aku hanya sedang menghiburmu, Tom. Jadi, pertama-tama kita akan ke TKP dulu?”

Denting notifikasi pesan terdengar dari ponsel Axel. Dia lekas membacanya. Menyeringai.

“Ben bilang surel itu dikirim secara terjadwal, yang artinya ditulis bukan berdasarkan waktu terkini. Nantinya akan ada surel yang menyusul, tapi Ben masih kesulitan mengetahui kapan saja jadwal surel-surel itu akan dikirimkan.” Axel memberitahu secara singkat isi pesan dari Ben.

Dahi Tom berkerut.

Axel menyimpan ponselnya. “Di surel si pengirim mengatakan kalau semua orang membencinya, bahkan dia mencurigai sahabatnya sendiri yang kemungkinan punya motif untuk membunuhnya. Pertanyaannya adalah apakah si pengirim surel itu masih hidup atau sudah mati? Melihat bagaimana surel itu dikirimkan, membuat seseorang berprasangka bahwa dia mungkin sudah mati,” paparnya, lalu menyesap kopi yang tinggal sedikit lagi sampai habis.

“Ada dua kemungkinan: sudah mati atau dia sedang terancam mati, kemudian melakukan segala cara untuk menghindari kematian.” Tom menambahi, tersenyum miring.

Axel mengembuskan napas panjang, menyeringai. “Ini menyebalkan. Kita adalah organisasi pembunuh bayaran, bukan agen detektif. Siapa pun orang di balik surel itu telah lancang membuat kita banting setir profesi. Lihat saja, aku akan memberinya pelajaran.”

Tom berdiri, diikuti Axel.

Setelah satu dekade vakum, kini organisasi pembunuh bayaran ‘dipaksa’ bangkit lagi.

Mereka menuju tempat di mana mayat ditemukan—berdasarkan informasi dari potongan surat kabar daring yang terlampir di surel.

***

Credits: Pict by Pinterest.

MUSLIHAT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang