Bab 4: Kunjungan Perpustakaan

10 3 0
                                    

Axel mengembuskan napas panjang ketika mobil sudah melesat di jalan protokol.

“Aneh. Kenapa ada orang seperti mereka, berbicara panjang lebar dan membeberkan rahasia pada tamu yang bahkan tidak memperkenalkan namanya.” Axel terkekeh.

“Itu karena bualanmu. Mengaku dari kepolisian divisi khusus. Sebelumnya sudah ada polisi yang datang lebih dulu, ditambah kondisi mereka sedang dalam keadaan emosional. Secara psikologis, mereka akan langsung percaya, mengatakan apa saja yang diminta. Dan berkat ‘keahlian’ mulutmu, mereka menyampaikan melebihi apa yang seharusnya disampaikan.”

“Ehem, aku tersanjung.” Axel bergaya, dia menyisir rambutnya ke belakang dengan jemari.

Tom menyeringai. Dasar, haus pujian. Tak berubah dari Axel satu dekade lalu.

“Ke mana lagi kita, bosku?”

Tom mengecek ponsel. Ada pesan baru dari Ben. Sebuah petunjuk.

“Perpustakaan kota.” Tom menjawab.

Mobil terus melaju, membawa mereka pada lokasi berikutnya.

Jalanan ramai lancar, mereka akan menuju jantung ibu kota, letak di mana perpustakaan berdasarkan informasi dari Ben.

Di tengah perjalanan Tom mengirim pesan pada Ben. Meminta untuk mencari foto Yura dan beberapa informasi lainnya yang kira-kira dibutuhkan. Hanya dalam waktu lima menit Ben mengirim semua yang diminta Tom. Syukurlah bapak beranak dua itu sepertinya sudah selesai menemani jagoannya bersepeda. Tom tersenyum tipis, kemudian menyimpan ponselnya.

“Omong-omong kenapa kau tidak meminta alamat indekos Mamanya Yura? Kita bisa ke sana untuk memastikan kebenaran dari keterangan Yura.” Axel menceletuk.

“Keterangan dari keluarga tidak sah dijadikan alibi, kau tahu. Selain itu aku tidak ingin membuatnya waspada. Lagi pula tanpa perlu bertanya di mana alamatnya, kita pasti akan menemukannya dengan mudah. Dan ingat, sekarang kita punya dua tersangka.” Tom melirik sekilas pada Axel, kemudian menatap lurus ke jalanan.

Axel mengangguk paham. Tersangka baru: Yosse. Dia memutar setir ke kanan. Memasukki halaman gedung setinggi 27 lantai, bergerak menuju basemen.

***

“Mohon maaf, Pak. Kuota pengunjung hari ini sudah penuh, dan sebentar lagi kami akan tutup. Bapak berdua bisa datang lain kali lebih pagi.” Seorang petugas berkata sopan dan ramah.

Axel memperhatikan sekitar. Beberapa pengunjung mulai terlihat melewati lobi dan beranjak meninggalkan perpustakaan. Axel dan Tom menyadari sesuatu. Agaknya memang benar, sudah cukup terlambat bagi seseorang yang hendak melakukan kunjungan perpustakaan.

Di luar sana matahari tinggal satu jengkal lagi tenggelam di kaki barat.

Axel berdeham kecil sebelum berbicara. “Sepuluh menit. Oh, tidak … lima belas menit. Kami minta waktunya lima belas menit, bisa?”

Petugas perpus menatap temannya, meminta persetujuan. Lalu mengangguk. “Ada yang bisa kami bantu?”

Tom mengeluarkan ponselnya, menunjukkan sebuah foto. Dua petugas itu berjengit, menatap satu sama lain.
 

“Itu adik kami. Kalian familier dengan wajahnya, bukan? Sebelum meninggal kami tahu dia sering berkunjung ke sini—”
 

“Astaga! Gadis itu meninggal? Pekan kemarin kami masih melihatnya berkunjung!” Salah satu petugas berseru kaget, memotong kalimat Axel.
 

“Kecilkan suaramu, Nona.” Setengah berbisik, Axel mencondongkan tubuh, “jadi benar kalian menyaksikannya sendiri bahwa adikku sering berkunjung ke sini? Pekan kemarin tepatnya hari apa?” Axel langsung menginterograsi.
 

MUSLIHAT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang