1

441 42 0
                                    

Aku berjalan menyusuri koridor sekolah. Koridor ini sudah sepi karena semua siswa sudah pulang. Salahku karena tadi tidur saat jamnya Mr. Brown. Guru killer itu tak akan mengganggu murid yang tidur di jam pelajarannya, tapi keesokan harinya hukuman akan menanti. Aku beruntung karena besok adalah libur musim dingin, artinya aku terbebas dari hukuman Mr. Brown.

Aku berjalan menyusuri jalanan sepi. Di jam dua siang seperti ini memang jalanan sekitar perumahan tempatku tinggal lengang, rumah-rumah di kiri kanan pun terlihat sepi tak ada orang. Ini adalah jamnya orang dewasa bekerja, dan anak-anak kecil sedang di daycare. Pantas saja perumahan ini seperti perumahan tak berpenghuni.

Kulihat langit mulai mendung. Apakah salju akan turun siang ini? Entahlah, kuharap jangan siang ini.

"Nathalie."

Aku menoleh saat suara cempreng memanggil namaku.

Kulihat gadis rambut pirang bergelombang berlari ke arahku. Itu adalah Ruby, teman sekolahku.

"Rumahmu juga disini?" Katanya dengan napas terengah. Sepertinya dia habis berlari tadi.

"Ya." Jawabku singkat. Bukannya aku sombong, tapi aku memang tidak dekat dengan Ruby. Ruby adalah anak nakal dan tukang bully. Kami tak pernah bicara saat di sekolah, kami juga tak akrab.

"Kita jadi tetangga sekarang. Astaga aku benar-benar tak menyangka harus pindah ke perumahan horror seperti ini." Keluhnya.

Aku hanya diam saja. Memangnya aku harus menjawab apa?

Ruby melirikku saat kami berjalan beriringan. Sepertinya ia canggung karena sejak tadi aku hanya diam.

"Kau sudah berapa lama tinggal di perumahan ini?" Tanyanya memecah kesunyian diantara kami.

"Sejak kecil." Jawabku.

"Oh." Balasnya.

Setelah itu kami diam lagi.

"Liburan musim dingin kau akan melakukan apa?" Tanya Ruby.

"Aku pergi ke desa nenekku." Kataku.

"Really? Kau tak pergi ke camp musim dingin?" Tanyanya terkejut.

"Tidak." Jawabku.

"Kenapa?" Tanyanya.

"Malas." Jawabku singkat.

"Aku justru malas pulang ke rumah nenek. Memang apa serunya disana. Lebih seru ikut camp." Kata Ruby.

Aku hanya diam. Apa tadi aku sudah bilang kalau aku dan Ruby selain tak pernah bicara, kami juga tak cocok. Ruby seorang ekstrovert, sedangkan aku kebalikannya.

Di perjalanan menuju rumah itu hanya Ruby yang berceloteh ria, aku hanya diam.

"Omong-omong aku sudah sampai." Ruby bersuara lagi.

Aku menoleh dan melihat rumah nomor 17 yang memang sejak lama kosong, ternyata rumah ini sekarang ditempati oleh Ruby. "Kau tinggal disini?" Tanyaku dan Ruby mengangguk. "Dengar-dengar rumah ini ada hantunya." Kataku.

Kulihat wajah Ruby memucat. Sepertinya ia syok.

"Maaf aku bercanda." Kataku sambil memegang pundaknya. Sebenarnya aku serius. Rumah nomor 17 memang terkenal seram di area perumahan ini, tapi melihat wajah Ruby yang memucat membuatku tak tega mengatakan kebenaran. "Aku duluan." Aku melanjutkan langkah menuju rumahku yang berada di ujung jalan.

Saat sudah berjalan agak jauh, aku menoleh ke belakang. Kulihat Ruby masih berdiri mematung di depan gerbang rumahnya. Astaga, sepertinya aku membuatnya ketakutan masuk rumah.

***

Aku membawa ransel besarku turun menyusuri tangga kayu di rumahku. Kulihat ibuku menoleh saat deritan kayu dan sepatu kets ku yang berdebam terdengar.

"Ya tuhan, kurasa tangga tua itu akan rubuh kalau caramu turun seperti itu." Omel ibuku melihatku menuruni tangga dengan bar-bar. Biarlah, ini kulakukan karena aku sudah tak sabar pergi ke rumah nenek.

"Aku sudah tak sabar ke rumah nenek." Kataku riang. "Ibu kapan kita berangkat?"

Ibuku terlihat menghela nafas. "Besok-besok jangan turun seperti itu lagi, kau tahu tangga itu sudah tua kan?" Katanya.

"Ya ya ya aku tak akan mengulanginya lagi." Kataku sambil memutar bola mata. "Jadi kapan kita berangkat?" Tanyaku

"Kemarilah, kita makan malam dahulu, setelah itu baru kita berangkat."

"Yes." Kataku sambil melompat riang.

"Ayah dan ibu tak bisa ikut menginap karena ayah ada pekerjaan." Kata ibuku sambil menyeduh teh untuk ayah.

"Ibu juga ada pekerjaan?" Tanyaku sedikit sedih.

"Ibu harus menemani ayah." Jawab ibuku.

Aku tertunduk sedih. Aku sudah membayangkan jalan-jalan di perbukitan hijau bersama ibu, ayah, dan nenek. Kami akan berfoto di atas bukit, menggelar tikar lalu bersantai menikmati sejuknya hawa pedesaan yang bebas polusi. Sepertinya itu hanya khayalanku saja, karena ayah dan ibu tak bisa menginap di rumah nenek.

"Kalau pekerjaan ayah sudah selesai, kami akan segera menyusul." Kata ayah.

Mendengar itu aku tersenyum. "Harus." Kataku semangat. "Pokoknya kalau pekerjaan ayah sudah selesai ayah dan ibu harus segera menyusul ke rumah nenek."

"Baiklah." Ayahku tersenyum hangat.

Malam itu, setelah selesai makan malam. Ayah dan ibu mengantarku ke rumah nenek. Jarak pedesaan tempat nenek tinggal lumayan jauh, kami harus menempuh jarak sekitar 7 jam perjalanan. Karena itu, aku sudah menyiapkan bantal dan selimut agar tidurku nyaman di mobil yang bergerak.

"Kudengar rumah nomor 17 sudah ditempati ya?" Tanya ayah.

"Iya kudengar begitu." Ibuku menjawab.

"Temanku yang tinggal disana." Ayah dan ibu menoleh saat aku tiba-tiba menyeletuk.

"Temanmu? Baguslah, kau tak perlu kesepian lagi saat pulang sekolah. Kan sekarang sudah ada teman seumuran." Kata ayahku.

Di perumahan ini, aku memang tak punya teman. Karena tak ada teman yang seumuran denganku, jadilah aku sering sendirian saat di rumah.

"Aku tak dekat dengannya." Jawabku. Mataku melihat rumah nomor 17 saat mobil ayah melewati rumah itu.

"Cobalah untuk bergaul." Kata ibu.

Aku tak menjawab. Mataku masih melihat rumah itu. Di jendela lantai dua, kulihat ada siluet pria dengan dua tanduk di kepalanya berdiri membelakangi jendela.

Mataku mengerjab. Apa aku salah lihat?

Bersambung..

LELAKI HUTAN [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang