Part 6 : Musuh Lama

18.2K 811 3
                                    

Carel menatap gadis itu dengan seksama. Wajahnya sama persis dengan yang difoto, hanya bedanya wajah yang difoto itu lebih cantik dari aslinya. Entahlah, mata gadis itu terlihat bengkak dan wajahnya sangat pucat. Awalnya ia sedikit ragu karena perbedaan itu, tapi hal itu seketika sirna ketika gadis itu berhenti saat namanya disebut.

Gadis itu memutar tubuhnya dan menatap kearah temannya satu persatu seakan mencoba mengingat apakah ia mengenal mereka berempat. Tapi tentu saja gadis itu tak mengenal mereka berempat. Mereka tidak pernah ke café seperti ini.

"Maaf?"tanyanya seolah meragukan pendengarannya.

"Nama kamu Aldora bukan?"tanya Robin.

Gadis itu mengangguk perlahan namun matanya memancarkan tatapan heran. "Maaf, tapi apa saya mengenal anda semua?"tanyanya.

"Oh enggak kok, kamu tidak mengenal kami. Tapi sudah menjadi kewajiban bagi pria untuk mengetahui nama gadis-gadis cantik kan?"tanya Harry sambil mulai memancarkan pesona gombalnya.

Max dan Robin mendelik kearah Harry. Terkadang lelaki itu lupa bahwa ia sudah memiliki 'orang rumah'.

Robin mengalihkan pandangannya kembali kearah gadis itu. "Silahkan duduk dulu,"katanya sambil menunjuk sofa didepan mereka.  Dengan ragu-ragu gadis itu duduk di sofa itu.

"Maaf kalau kita membuat kamu bingung, tapi ada sedikit hal kami ingin kamu tahu. Mungkin kamu tidak mengenal kami tapi ayah kamu bekerja dengan kami dulu saat masih bekerja di pabrik,"jelas Robin.

Gadis itu membelalakkan matanya tak percaya. Dia seolah berpikir keras. "Ayah saya? Tapi ayah saya sudah meninggal dua puluh tahun yang lalu."

"Ya, kami sudah tahu itu. Saat ini kami membutuhkan sesuatu yang kamu simpan. Tapi sebelumnya kamu harus tahu dulu apa sebenarnya yang terjadi pada kebakaran pabrik dua puluh tahun yang lalu. Apa kamu mau mendengarkan cerita tentang kebakaran pabrik itu?"

Rara menatap Robin dengan ragu. Tampak ia sangat penasaran dengan cerita dibalik meninggalnya ayahnya. Tapi Rara menoleh kea rah pintu yang tertutup. Seolah mengerti maksud Rara, Harry langsung menyeletuk. "Tenang saja, tak ada yang akan memarahimu kalau kamu disini, bahkan bos mucikarimu yang norak itu."

@@@@

"Kita sudah melemparkan pancingannya, sekarang tinggal tunggu dia memakan umpannya dan hap!"kata Harry sambil menepuk tangannya.

"Ngomong-ngomong, pintar juga lo mendongeng,Bin,"ujar Max. "Cerita dan mimik wajah lo itu membuat cerita itu seolah-olah beneran. Gue rasa lo cocok jadi artis,"lanjut Max.

Robin mengangguk-ngangguk sambil tersenyum. "Itu satu dari segudang talenta yang gue punya."

Harry memonyongkan bibirnya pada Robin, tak terima bahwa Robin bertalenta. Tapi Robin tidak meladeni Harry, ia memalingkan wajahnya kearah Carel. "Bagaimana menurut lo,Rel?"tanya Robin.

"Yah, sebenarnya gue gak terlalu suka cara basa-basi kayak gini, hanya buang-buang waktu doang,"kata Carel sambil menyandarkan punggungnya di dinding jendela dan menatap keluar. "Tapi benar kata Max, akting lo bagus kok sampai bisa meyakinkan gadis itu,"tambah Carel buru-buru ketika melihat wajah Robin yang mewek mendengar ucapan Carel sebelumnya.

"Tapi gue salut sama lo loh, Rel, waktu gadis itu bertanya kenapa dia harus memercayai kita? Darimana lo dapat jawaban itu?"tanya Harry pada Carel.

Carel tersenyum sinis. "Karena gue udah muak dengan pertanyaannya. Bukan tipe gue meladeni pertanyaan-pertanyaan seperti itu."

"Lo serius dengan ucapan lo mau membunuh dia itu?"tanya Max.

Carel melirik Max. "Kenapa tidak?"tanya Carel.

Love between Angel and DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang