Bab. 11 The Lucky Hunter

8 3 0
                                    

“Jika memang itu maumu, berangkatlah!” putus Windsar sambil beranjak meninggalkan ruangan tengah.

“Tapi Paman, aku belum tahu apa yang akan kuhadapi. Tolonglah aku sekali ini agar tak bernasib seperti Denny Doody,” mohon Grey seraya berusaha menahan langkah lelaki berdada bidang itu.

Windsar terdiam, ia menggertakan gerahamnya menahan marah. Tangannya mengepal seraya menepiskan pegangan Grey.

“Carilah yang ingin kau temukan, apa pun itu!” bentak Windsar kesal. Ia masuk ke kamar tidur dan membanting pintunya.

Grey mengemasi tasnya dan beranjak dari rumah Windsar. Sesaat sebelum meninggalkan pelataran kediaman Windsar, ia berhenti sejenak. Berpikir.

Jika lelaki tua itu menyuruhku mampir ke rumah pertama yang aku temui dalam perjalanan menuju Wild Wood, lantas jalur mana yang harus kutempuh? pikir Grey.

Grey meletakkan ranselnya di tanah, ia membongkar isi tasnya dan mengeluarkan kertas gulungan. Rupanya ia sudah menggambar peta perjalanannya.

Dengan bantuan pelita juga cahaya bulan, lelaki itu menandai beberapa jalur pendakian Edith Cavell. Jika petunjuk Windsar tidak menyesatkan, ia akan menempuh akses jalur Tonquin Valley.

Grey memberi tanda silang di West Ridge, jalur normal  yang penah ditempuh mendiang mertuanya—menurut penuturan Meaghan—juga pada jalur pegunungan timur dan puncak timur karena di sana dipastikan tidak ada pemukiman penduduk, terutama jalur  klasik rute North Face yang pernah ditempuh mendiang Denny Doody 15 tahun silam.

Grey mengangguk-anggukan kepala, mencoba meyakini rute yang akan dia buat. Hatinya mantap menuju akses jalur Tonquin Valley. Ia harus bergegas karena sebentar lagi hari akan pagi.

Sementara itu Fred memandangi punggung Grey dari balik jendela dapur. Dalam benaknya remaja itu sibuk menebak jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang bahkan tak berujung. Fred memang pendiam, tapi ia menyimpan banyak hal dalam hatinya, mungkin karena hal-hal tersembunyi yang sering ia lihat seperti dini hari ini.

Dari dalam kamar, Windsar memanggil Fred. Segera remaja itu berlari menghampiri tuannya.

“Apakah dia sudah pergi?” tanya Windsar. Fred mengangguk.

“Pergilah ke rumah Beacky beberapa saat nanti dan sampaikan pesanku ini. Jika dia bertanya kapan suaminya kemari, jawablah sekitar waktu kau akan membawa kambing-kambing ke ladang, agar dia tidak khawatir.”

Fred menerima kertas dari tangan Windsar dan segera berkemas. Ia mengenakan jaket tebalnya juga mengikat tali sepatunya erat. Remaja itu memerlukan sepatu yang kuat karena harus setengah berlari dalam gelap jika tak ingin berjumpa dengan binatang buas, ia terlalu takut mati muda seperti kedua orang tuanya—meski penyebab kematian mereka bukanlah karena binatang buas—

---
Grey berjalan  ke utara lalu berbelok ke kanan sekitar setengah mil sebelum ujung Edith Cavell Road.

Ia tidak memasuki jalanan itu melainkan membuat jalan baru dengan memasuki hutan pinus, mendaki di antara akar-akar yang mencuat keluar serta berbatu.

Sesekali lelaki itu berhenti untuk mengatur pegangan pelitanya, ia harus hati-hati dengan hutan pinus yang mudah terbakar.

Dari arah langit timur, angkasa mulai terlihat berwarna. Grey tahu jika matahari telah terbit, hanya saja untuk beberapa jam, ia akan masih tersembunyi dalam rimbunnya hutan pinus juga tebing Edith Cavell.

Setelah berjalan sekitar 2 jam, Grey mendapati jalanan berkerikil. Ia lantas menyusuri jalanan tersebut. Memasuki jalanan tersebut, ia memadamkan pelitanya karena semburat sinar mentari di ufuk timur telah menerangi jalanan.

Pepohonan pinus mulai jarang, berganti dengan pepohonan perdu dan bunga-bunga liar. Grey merapatkan jaketnya karena ia berjalan berlawanan dengan arah angin.

Dari kejahuan, Grey melihat sebuah rumah dengan cerobong asap mengepulkan asap putih pekat. Grey tersenyum dan mempercepat langkahnya, ia senang karena Windsar tidak memberikan petunjuk palsu kepadanya.

Beberapa saat berada di dalam rumah tersebut, akhirnya Grey melanjutkan perjalanan. Tuan rumah tampak mengantarkan Grey ke luar dengan senyuman lebar, di tangannya ia membawa tas ransel Grey.

Sepeninggalan Grey, si Tuan Rumah Tambun tersebut melemparkan tas Grey pada kursi goyang di teras itu lalu berteriak memanggil seseorang sembari melangkah masuk.

Langkah kaki Grey semakin ringan dengan ketiadaan tas bekalnya. Keputusan yang tepat menukarkan tas tersebut dengan sebuah sarapan hangat, juga sekantong bekal plus sepasang tongkat pendakian.

Grey terus menapaki jalanan berumput menanjak 2,4 mil jauhnya. Badannya telah penuh oleh peluh tetapi ia tak mau berhenti meski hanya untuk minum. 

Kini ia mengarah ke utara mengikuti sungai kering cabang dari Athasbasca yang menuntunnya ke sebuah jembatan.

Grey terdiam di ujung jembatan. Hatinya berdegub kencang antara takjub dengan pemandangan di depan mata juga perasaan aneh yang menyelimutinya.

Di depan sana, di seberang jembatan berlumut ini, Grey sadar dengan apa yang dihadapinya: danau keramat, Danau Cavell.

Dengan perlahan, Grey menapaki jembatan tua tersebut. Setiap kayunya berdenyit ketika kaki Grey menyentuh permukaannya. Grey memegang sisi jembatan kuat-kuat, meski di bawah sana hanyalah sungai kering, entahlah rasa takut mulai menyelimutinya, belum lagi tiba-tiba kabut tipis seolah menyapanya begitu ia menyapai separuh jembatan.

Grey semakin menguatkan cengkeraman tangannya, dari sisi tengah jembatan ini, dasar sungai terhalang dari mata akibat kabut. Grey berusaha sekuat mungkin untuk menguasai dirinya. Dia teringat perkataan lelaki botak yang telah memberinya sarapan tadi, bahwa ia jangan sampai terkecoh dengan sekeliling.

Tinggal selangkah lagi kaki Grey akan mendarat di sisi jembatan, telinga Grey menangkap sebuah nyanyian yang memilukan hati. Semakin didengar, semakin teriris-iris hatinya, sebuah perasaan aneh turut memasuki hatinya. Sebuah perasaan putus asa yang menyedihkan.

Hamparan rumput hijau bersanding dengan Danau Cavell menyambut begitu Grey menyelesaikan penyeberangannya. Sebuah pemandangan yang indah tapi magic dengan danau di latar depan sedang motif gunung Edith Cavell sebagai latar belakangnya.

Angin dari arah danau meniup Grey, menerbangkan rambut poninya. Ujung syalnya berkibar seperti sedang menari. Sekali lagi telinga Grey menangkap lagu sendu itu. Grey semakin penasaran dibuatnya.

Bercampur rasa takut tapi ingin tahu, dia maju beberapa langkah.

Suara nyanyian itu tiba-tiba lenyap. Keadaan sekeliling menjadi lengang. Meski bulu kuduknya berdiri, Grey tetap melanjutan langkahnya. Ia menuruni lembah menuju Danau Cavell.

Selagi kakinya menuruni lembah, angin bertiup lagi, kali ini bunyi nyanyian misterius itu semakin keras. Grey mempercepat langkahnya.

Ia sudah tiba di sisi danau. Sebuah danau yang tenang dan terlihat kesepian. Grey menelan salivanya karena tiba-tiba merasakan emosi yang kuat dari dana tersebut, seolah seseorang yang tengah merintih meminta untuk dimengerti. Tunggu! Bukankah itu dirinya sendiri?

Grey sangat terperanjat karena menyadari bahwa danau tersebut seolah mengerti persaannya. Kebisuannya, pancaran sinar mentari yang perlahan menyibak kabut, membuat Grey terpesona sekaligus merasa sedih.

Di tengah lembah ini, seolah dirinya remahan roti di dasar mangkuk. Grey kesepian. Lelaki itu menuduh keadaaan sebagai pelakunya. Tanpa mengucapkan sepatah kata, Grey berperang.

Angin bertiup, kali ini kabut-kabut tipis telah pergi. Di sisi kiri atas lembah, Grey melihat sebuah bebatuan putih membentang datar sepanjang kurang lebih 984 kaki. Jika diperhatikan, batuan tersebut membentuk siluet menusia bergaun dengan tangannya berbentuk sayap yang dibentangkan ke kiri dan kanan. Letaknya yang menjorok dari atas bidang miring, membuatnya tampak seolah seperti seorang malaikat tertidur dengan sayap terbuka di hamparan batuan kehitaman bukit Edith Cavell.

Grey telah melihat Gletser Angel! Setiap angin melewati ‘dada’ gletser tersebut, menimbulkan bebunyian seperti nyanyian sendu menyayat hati.

bersambung ....
---

Karya Olimpus Match Battle lainnya:

The Lucky Hunter -- @Dhsers
Viloise -- @Chimmyolala
Tersesat di Dunia Sihir -- @Halorynsryn
Aku Bisa -- @okaarokah6
Kurir on the Case -- @AmiyaMiya01
Is it Our Fate? -- @ovianra
Crush -- @dhalsand
Keping Harapan -- @UmalkhFfa

The Lucky Hunter Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang