Bab. 12 Buah Simalakama

2 1 0
                                    

Satu hari setelah rencana perayaan ulang tahun pernikahan.


Empat jam menunggu langit berubah warna sangat menyiksa Meaghan. Wanita berpostur tinggi besar tersebut tak sekali pun memejamkan matanya. Pikirannya sibuk dengan bermacam perkara, sementara pandangannya lekat ke arah perapian. Hingga semburat cerah di ufuk timur tampak mengintip dari kaca dapur Meaghan yang sengaja dibiarkan terbuka, wanita itu lalu mulai berkemas.

Fred yang meringkuk di sofa ruang tamu tampak sedikit bermalasan, ketika dibangunkan oleh Meaghan. Remaja itu memang tidak biasanya mendapatkan alas yang empuk, pantaslah tidurnya nyenyak.

“Ayo, Fred. Aku harus bertemu paman Windsar,” ajak Meaghan tak memberikan kompromi untuk Fred.

“I-iya, Nyonya Beacky. Segera.” Fred memaksa tubuhnya untuk tersadar sepenuhnya dari kantuk. Tangannya mengucek kasar ke mata juga mengusap bekas liur dari sudut bibirnya.

Berjalan dengan langkah tergesa, Meaghan menapaki jalanan desa. Mengabaikan salam Nyonya lily yang menuju ke pasar, juga meninggalkan Fred yang sempat terhenti langkahnya demi menyapa Tuan Hebbing.

“Apa yang terjadi?” tanya Tuan Hebbing kepada Fred seraya melihat ke arah Meaghan yang berjalan lurus ke barat.

“Hanya ingin lekas sampai di rumah, Tuan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” Fred berbasa-basi.

Meaghan sempat berhenti sejenak dan menoleh ke arah Fred. Fred segera berpamitan dan berlari kecil menyusul Meaghan.

Sampai di rumah Windsar, lelaki itu tampak sudah bangun. Ia sedang menghisap pipanya di teras rumah, berdiri menghadap ke arah jalan dengan tangan kiri di saku jaketnya.

“Fred!” ujar Windsar begitu bujangnya mendekat, “siapkan sarapan!” titahnya.

Tanpa menjawab, Fred kecil langsung menuju ke dapur.

Meaghan duduk di kursi teras, mengatur napas. Sungguh, berjalan cepat di usianya kini membuat tubuhnya bermandi keringat.

“Paman,” kata Meaghan.

“Tunggu hingga kita sarapan, Beacky. Aku sudah lapar,” potong Windsar. Ia mematikan cerutunya pada asbak batu buatan tangan, lalu berlalu meninggalkan Meaghan.

Meaghan menarik napas kesal, ia sudah menunggu hampir lima jam sejak dini hari tadi!

Menghabiskan sarapan tanpa obrolan, hanya demi terlewatnya waktu dengan cepat. Sialnya Windsar memiliki kebiasaan menyeruput cokelat panas sesudah sarapan. Jadi Meaghan harus bersabar sedikit waktu lagi.

Wanita itu pura-pura membantu Fred membereskan perlengkapan makan untuk menyembunyikan kejengkelannya.

Fred menatap Meaghan takut-takut ketika wanita tersebut dengan kekuatan penuh menata kembali piring dan gelas. Remaja itu takut kalau-kalau semuanya hancur oleh kemarahan keponakan majikannya.

Mendekati pukul tujuh pagi, Meaghan sudah tak tahan lagi.

Ia mendekati pamannya yang masih bersantai di ruang tengah. Wanita yang tengah mengenakan terusan beludru warna biru muda itu mengambil tempat duduk di depan pamannya.

“Paman.” Meaghan membuka pembicaraan.

“Suamimu mungkin sudah sampai di Wild Wood, jika ia cukup pintar menuruti petunjukku.” Terdengar suara Windsar santai.

Ia menyeruput minuman terakhirnya dan meletakkan gelasnya kembali ke meja.

“Kenapa Paman tega kepadaku?” tanya Meaghan tak habis pikir dengan lelaki yang diakuinya sebagai orang tuanya tersebut.

“Seharusnya kamu bersyukur dia memperlihatkan wajah aslinya,” cela Windsar, yang ia maksud adalah suami Meaghan. Sejak awal ia memang sudah tidak menyukainya.

“Yang aku maksud adalah, mengapa tidak langsung memberitahuku bahwa Grey ke mari? Aku bisa saja langsung mencegahnya berangkat,” jawab Meaghan dengan nada bergetar menahan tangis.

“Bagaimana bisa kamu menghentikan sesuatu dari 10 tahun lalu?” Windsar menatap tajam ke arah Meaghan.

Dahi Meaghan berkerut, alisnya tertaut, “Maksud Paman apa?”

“Sejak awal Grey memang punya tujuan untuk mendekatimu. Selama 10 tahun terakhir dia telah menyusun rencananya untuk memiliki apa yang sangat diingini oleh orang-orang sana,” beber Windsar.

Meaghan semakin tak mengerti, ia menahan ucapannya dengan tangan kanan di bibirnya. Mencerna perkataan sang paman.

Suasana hening sejenak. Lalu Meaghan memperbaiki cara duduknya dan mulai menyerang pamannya,

“Tidakkah Paman yang telah memaksa Grey untuk melakukan itu semua? Tidakkah begitu?” tuduhnya.

“Bahkan dia adalah orang yang baik kepadaku. Dia sangat penurut juga tak pernah mengeluh. Aku kini tampak sangat buruk untuknya,” lanjut Meaghan. Ia mengusap air mata yang meleleh di pipinya.

“Sadar Meaghan! Tidak bisakah kau membuka matamu? Lihat! Ini semua hanya permainan untuknya dan kini dia sudah mendapatkan tujuannya!” Windsar meninggikan suaranya. Bahkan Fred ikut mengerut ketakutan di dapur.

“Meskipun begitu, mengapa Paman tega melakukan ini kepadaku? Paman tahu bahwa hanya dia yang aku punya. Sejak mengenalnya aku melupakan kesedihanku. Kali terakhir Paman melenyapkan Denny Doody, aku sempat berpikir apakah nasib Grey akan sama? Namun, aku hanya tak habis pikir bahwa Paman tega menjauhkannya dariku juga.” Kali ini Meaghan tergugu.

“Aku tahu, Nak. Justru itu yang selalu membuatku bimbang. Aku juga sempat kehilangan diriku sesaat. Dan perlu kamu tahu, bukan aku yang melenyapkan Denny Doody, dia membunuh dirinya sendiri ... dengan ketamakan,” kata Windsar agak melunak dan terjeda di akhir kalimat.

Windsar pun sangat kehilangan pelayannya yang energik tersebut, hanya saja tak pernah mengatakannya kepada siapa pun. Wajah dingin hampir-hampir tanpa ekspresi itu tetap mengaburkan semua emosi Windsar.

“Lantas aku harus bagaimana?” Suara Meaghan terdengar setelah hening sesaat.

“Relakan dia, Meaghan. Aku tak mau kehilanganmu. Kau sangat tahu benar aturannya,” nasihat Windsar.

Meaghan menangis kembali mendengar perkataan pamannya. Grey adalah cinta pertama dan terakhirnya. Ia mungkin bisa jatuh cinta berulang kali tapi tidak akan mampu mencintai seseorang seperti ia mencintai Grey.

Kasih sayang Meaghan kepada Grey adalah manusiawi. Sebenarnya ia tahu benar jika lelaki itu mendekatinya dengan maksud tertentu. Mungkin pada awalnya bisa jadi Grey benar-benar jatuh hati kepada Meaghan. Lalu ada masa ketika Denny Doody masuk dalam hubungan mereka, Grey sering terlihat gusar juga tarik ulur dalam menjalin hubungan dengan Meaghan.

Namun Meaghan terlanjur jatuh cinta kepada Grey.

Senyum lebarnya, rambut berponinya yang menari-nari tertiup angin, kulit pucatnya yang semakin terlihat pias sewaktu baru keluar dari sungai Athasbasca.

Meski pun tidak terlalu menyukai air, Grey akan selalu paling cepat jika Meaghan menginginkan ikan di sungai.

Juga peluhnya yang mengalir ketika dia bekerja di ladang untuk membuat Hay dari jerami hijau.

Bahkan untuk suara dengkurannya, Meaghan menyukai semuanya itu dari Grey.

Meaghan belum siap merelakan suaminya.

Sepanjang perjalanan pulang kembali ke rumahnya, wanita itu sibuk menimbang-nimbang.
Sebagai wanita, ia masih membutuhkan suaminya. Kini orang yang sangat ia sayangi tersebut sedang berada di medan yang sulit dijangkau orang.

Meaghan tahu ia bisa menolong lelakinya tersebut. Menyusul dan membawanya kembali—jika belum terlambat.

Namun, jauh dalam lubuk hatinya, ada rasa ketakutan yang perlahan menjalari dirinya.

Seperti ular yang memerikasa mangsanya, menjalari sekujur tubuh si mangsa, perlahan kemudian mulai membelit dan meremukan segala tulang yang tersisa.

Tanpa sadar, Meaghan yang baru menyampai pintu teras, terjatuh di halaman. Bunyi berdentam di lantai kayu mungkin tidaklah semenyakitkan perasaan yang sedang ia kaluti sekarang ini.

Keringat dingin membasahi seluruh tubuh Meaghan, tangan kakinya gemetaran. Meski hari masih terang, semua tampak gelap dan menakutkan bagi Meaghan.

Wanita itu mencoba untuk tidak berteriak. Dengan meraba-raba berusaha membuka pintu rumah serta mencapai sofa dengan susah payah.

Meaghan ingat betul, pada waktu terpuruk seperti ini, Grey-lah yang paling bisa diandalkan. Saat ini, seharusnya Meaghan bisa bertukar peran dengannya, karena justru mungkin Grey yang membutuhkan kehadirannya.

Meaghan memeluk lututnya dan mulai menangis,

“Maafkan aku, Sayang. Apa yang harus aku lakukan? Sanggupkah aku menyelamatkanmu jika aku sendiri dihantui kematianku? Mengapa Wild Wood? Mengapa di sana? Tidakkah ada tempat lain untukku menyelamatkanmu? Aku tak mungkin ke Wild Wood, karena jika aku memasukinya, aku akan mati,” rancau Meaghan berulang-ulang.

bersambung ....
---
Karya Olimpus Match Battle lainnya:

The Lucky Hunter -- @Dhsers
Viloise -- @Chimmyolala
Tersesat di Dunia Sihir -- @Halorynsryn
Aku Bisa -- @okaarokah6
Kurir on the Case -- @AmiyaMiya01
Is it Our Fate? -- @ovianra
Crush -- @dhalsand
Keping Harapan -- @UmalkhFfa

The Lucky Hunter Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang