Pagi hari yang damai di kaki gunung Edith Cavell. Kabut tipis yang perlahan mengabur bersama datangnya sinar mentari.
Dilatarbelakangi langit berwarna biru, gerombolan awan keabuan bak kawanan kambing gunung yang siap dipintal bulunya. Pancaran sinar matahari pagi ini seperti pedang mengkilap membelah awan. Semuanya terpantul sempurna pada permukaan sungai Athasbasca yang mengalir panjang dari pegunungan Edith Cavell.
Salah satu desa yang terletak di naungannya tampak mulai menggeliat terbangun. Pelita dari rumah-rumah mulai padam juga kini beberapa cerobong tampak berasap. Desa Mountbatten. Desa dengan wilayah jauh lebih luas dari tingkat kepadatan penduduknya. Berdiri sebagai saksi sejarah sejak Perang Dunia I.
Di situ tinggallah keluarga kecil Ebert. Sepasang suami istri yang memutuskan untuk merajut rumah tangga 15 tahun silam. Sang istri, Meaghan Beckey terlihat sibuk di dapur.
“Hm, apa yang harus kubeli? Tepung masih cukup. Aku rasa sedikit keju dan mentega,” gumam Meaghan seraya menutup lemari perbekalan.
Ia melangkah ke peti penyimpanan gandum dan tersenyum, “Mungkin hanya daging angsa dan beberapa dekorasi pesta lagi,” ujarnya pada diri sendiri.
Setelah mencatat kebutuhannya, wanita bertubuh gemuk itu memasuki kamar tidurnya. Keluar dengan pakaian rapi tanpa menyadari keanehan di dalam kamar. Kembali ke dapur untuk mengambil keranjang belanja anyaman jerami. Tak lupa mematikan perapian sebelum meninggalkan rumah.
Menuju pasar Mountbatten, Meaghan berdendang kecil sambil menjinjing keranjangnya. Sesekali tangannya membenahi scraf lebar yang ia ikatkan di kepala sebagai topi.
Tak banyak orang yang ia jumpai selama perjalanan. Selain hari masih pagi, juga karena penduduk Mountbatten tak lebih dari 25 orang kepala keluarga.
Wilayah geografis yang sulit dijangkau serta iklim yang tak mendukung, membuat penduduk desa lebih suka bermigrasi ke kota. Apa yang dapat dibanggakan di sini selain dari hasil ladang jerami dan sungai Athasbasca? Tidak lebih.
“Pagi, Cantik,” sapa Meaghan kepada serumpunan Harebell yang hendak mekar. Kuncupnya berayun terkena angin sepoi musim semi. “Sayang sekali kamu tak wangi. Aku tidak bisa membawamu ke rumah karena Grey akan marah padaku,” imbuhnya.
Dan bunga liar di pinggir setapak itu kembali berayun seolah memaklumi pernyataan Meaghan.
Meaghan meninggalkan bunga keunguan dengan putik kuning tersebut. Kembali berjalan lurus ke selatan. Menyusuri jalanan berkerikil, kiri kanan Meaghan tampak perdu hijau kekuningan. Musim semi baru dimulai dan alam sedang merangkak merayakannya.
“Oh, Nyonya Ebert. Apa kabar?” sapa Louise, penjual daging. Wajahnya yang selalu tirus dengan mata cekung semakin terlihat mengerikan ketika tersenyum kepada Meaghan.
“Tentu kabar baik, Louise. Tentu,” jawab Meaghan dengan ceria. Tangannya mengeluarkan catatan dari dalam kantung baju.
“Ini pesananmu, Nyonya.” Louise menyodorkan bungkusan daging angsa sembari—lagi-lagi—tersenyum.
“Em ... Louise, bisakah kau carikan barang dengan ukuran ini?” pinta Meaghan.
Louise menerima catatan Meaghan dan membacanya perlahan. Meski tinggal di desa terpencil, semua warga desa sudah melek baca-tulis. Pemerintah telah mencanangkan wajib belajar program dasar maksimal hingga usia 14 tahun, berbeda tenggang usianya untuk setiap provinsi, tergantung kebijakan lokal.
Kening Louise mengerut, “Saya minta maaf, Nyonya. Tapi sangat sulit mendapatkan jaket bulu rusa saat ini. Tentu Nyonya tahu bahwa hanya Tuan Robbins yang pergi ke Wild Wood untuk memperoleh bahan bakunya.” Louise mengembalikan catatan Meaghan, “Tapi jika Nyonya mau, saya punya persediaan jaket bulu kambing dan stok jerami melimpah,” tawarnya.
Meaghan menggeleng kecewa. Meninggalkan lapak Louise, wanita berambut merah ikal digelung itu menuju lapak Nyonya Lily dan memesan keju serta mentega juga beberapa lilin dan pita.
Meaghan langsung pulang kembali ke rumah karena di pasar juga tampak sepi hari ini. Tambah hari semakin banyak saja yang meninggalkan desa.
Mengolah hidangan di dapur membuat Meaghan terlewatkan sarapan sang suami yang tak tersentuh sejak pagi di atas nakas kamar tidur.
Meaghan memasak dengan bersenandung sambil berdansa ringan. Bergerak pelan ke kiri dan kanan sembari memotong daging angsa. Berjalan sambil berlenggok ke arah panggangan serta berputar sebelum membuka pintu oven-nya.
Meaghan memang tengah berbahagia. Hari ini adalah perayaan ulang tahun pernikahannya yang ke-15. Sebuah pencapaian yang patut dibanggakan.
Setelah memutar time keeper-nya, Meaghan menuju ruang tengah dan membongkar peti perkakas natal. Jarinya memilih barang-barang yang sekiranya dapat ia manfaatkan untuk dekorasi ulang tahun.
Lalu ia mulai memajang foto-foto lama di beberapa sudut rumah, di atas bufet juga beberapa di atas meja tamu. Tak lupa ia menempatkan lilin-lilin dan pita yang ia beli di pasar tadi.
Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Sebentar lagi sudah akan petang hari. Meaghan memasuki kamar mandi dan mulai membasuh diri. Malam ini ia bertekad akan menyenangkan hati Grey Ebert.
Sambil memikirkan kenakalan yang akan ia lakukan kepada sang suami, Meaghan terkikik seraya membilas sabun dari kulit pucatnya.
Hari telah gelap dan matahari telah satu jam lalu masuk ke peraduannya. Namun, Grey Ebert belum tampak batang hidungnya.
“Apa yang menghambatnya di ladang?” desis Meaghan.
Meaghan terduduk di sofa tua depan perapian dengan gelisah. Hidangan pesta pun telah lama menjadi dingin. Dengan menggigit bibir bawahnya, Meagan menghampiri jendela utama. Berharap sosok yang dinantikannya akan muncul dari kegelapan pekat di depan sana.
Meaghan terbangun dari tidur dan meringis karena kesemutan di tangannya. Rupanya ia tertidur di meja ruang tamu.
Keadaan sekeliling gelap dan dingin. Perapian ruang tamu telah padam. Dengan sempoyongan, Meaghan meraba tempat pematik dan menyalakan perapian.
Sejurus kemudian bayangan menari-nari dari beberapa barang di ruangan itu menemani Meaghan. Meaghan melirik jam dinding di sisi kanan atasnya. Sudah lewat tengah malam.
“Where are you now, Grey?” gumamnya tertahan.
***
bersambung ....
_____________________________________
Cek and ricek dulu, ah ....
Gimana bab 1 ini?Semoga kalian suka, ya dan aku tunggu kritik dan sarannya.
Lobe-lobe for you all 😘😘
____________________________________Karya Olimpus Match Battle lainnya:
The Lucky Hunter -- Dhsers
Tersesat di Dunia Sihir --halorynsryn
Aku Bisa --okaarokah06
Kurir on the Case --AmiyaMiya01
Is it Our Fate? --@ovianra
Crush --dhalsand
Keping Harapan --@UmalkhFfa
Cinta Alam untuk Disa --DenMa025
Memutar Waktu --dewinofitarifai#OMB2022 #eventAE #wpAE #Olimpus #AEPublishing
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lucky Hunter
Narrativa generaleApa jadinya saat Meaghan dan paman Windsar bertemu dengan penunggu pegunungan Edith Cavell yang terkenal angker itu? Meski terkutuk, nyatanya mereka masih hidup hingga kini. Bagaimana bisa? Apakah yang mereka berdua coba sembunyikan? Lalu bagaimana...