Teruntuk Paman Windsar.
Paman, pertama-tama aku ingin berterima kasih untuk semuanya selama ini. Tanpa Paman aku tidak tahu akan tumbuh menjadi manusia seperti apa. Meski terkadang tatapan Paman sangat dingin, pun ucapan yang terbilang garang, Paman tetaplah yang terbaik bagiku.
Aku putuskan untuk menyusul Grey. Aku tahu jika hal ini akan membuatmu marah. Maafkanlah keponakanmu yang pembangkang ini.
Kau tahu Paman, jika Paman adalah tangan dan kakiku, Grey adalah hatiku. Aku sungguh tak dapat hidup tanpa kalian berdua. Dan tolong jangan paksa aku untuk memilih di antara kalian. Itu sangat tidak adil bagiku.
Akan kupastikan membawa Grey pulang kembali. Jika hal itu mustahil, tolong jangan pernah salahkan dia atas kepergianku nanti.
Jujur aku sangat takut saat ini. Bayangan kematian sekian tahun akhirnya akan menemui ujungnya.
Namun, aku tak mau hidup sebagai pencundang seperti Paman, yang hanya berani menghadapi hidup tetapi selalui diselimuti penyesalan.
Jika nanti aku tak dapat kembali, tolong jaga Grey untukku. Buatlah seolah-olah lelaki itu tak pernah membuat hatimu jengkel. Aku tahu itu akan sukar, tapi kumohon lakukan demi aku, Paman.
Paman, hari sudah mau terang. Aku harus bergegas untuk menghindari sabotasemu.
Ingatlah satu hal lainnya, aku akan selalu mencintaimu. Akan kusampaikan kabarmu kepada Mommy dan Daddy juga Bibi Ann.
Peluk cium dariku,
Meaghan Beacky-seseorang yang tak ingin dianggap mencundangi cinta.
Meaghan membaca sekali lagi tulisan tangannya, memastikan tidak ada yang terlewat. Lalu ia melipat kertas tersebut dan meletakkannya di atas meja tamu.
Meaghan juga meletakkan syal peninggalan ibunya di sisi kertas wasiat tersebut.
Subuh ini, hatinya penuh kesedihan. Ia menyadari inilah kali terakhir akan melihat semuanya, sesudahnya tidak akan ada lagi kesempatan.
Dengan perlahan, wanita itu mengitari ruangan demi ruangan. Mencoba memunculkan kembali momen-momen usang yang pernah tercipta.
Nostalgia bersama sang mommy tercinta di dapur, Meaghan tersenyum sembari berurai air mata. Ia sedang menertawakan bayangannya dulu yang belum bisa membedakan antara tepung dan garam.
Lalu kakinya melangkah ke ruang tengah. Ruangan yang selalu hangat. Tempat anggota bercengkerama santai.
Meski hari bersalju dan dingin di luar, di ruang tengah inilah Meaghan dulu menghabiskan rasa penasarannya. Ayahnya akan dengan sabar menjawab setiap pertanyaannya.
Di sana, bersanding dengan perapian menyala dan beralas karpet tua berbulu kambing, lagi-lagi Meaghan seolah melihat dirinya yang tertawa riang dalam dekapan sang ayah.
Melintasi kamar tidur, Meaghan seolah ragu hendak masuk atau tidak. Ada banyak kenangan Grey di dalam sana.
Baju-bajunya, bau keringatnya bahkan suara dengkurannya, Meaghan masih mengingatnya jelas.
Meaghan menangis, menyadari bahwa semua itu nantinya hanya tinggal kenangan bagi hidupnya yang telah ditentukan garis akhirnya ini.
Tak kuasa menahan perasaannya, wanita bertubuh gemuk itu melangkah cepat ke luar rumah.
Membiarkan pintu rumah tak terkunci, ia melangkah ke selatan dengan membawa sebuah tas punggung berisi perlengkapan pendakian.
Meaghan tak ingin segera menuju arah hutan gunung Edith Cavell. Wanita itu ingin melihat desanya untuk yang terakhir kalinya. Ia berjalan lurus ke selatan dan berhenti di ujung jembatan sungai Athasbasca.
Dari tempatnya berdiri sekarang, Meaghan membalik tubuhnya menghadap ke pedesaan di belakangnya. Sebagian penduduknya masih terlelap karena memang ini masih sangat pagi. Kabut tipis yang menyelimuti Mountbantten membuat suasana semakin memilukan bagi Meaghan.
Sambil menyedot ingusnya dalam-dalam, wanita itu berbisik, "Terima kasih Mountbatten untuk masa yang indah. Terima kasih untuk semuanya. Aku senang lahir dan tinggal di sini. Bye."
Dengan menyeberangi jembatan kayu tua tersebut, Meaghan sudah berada di luar jangkauan Mountbatten.
Menempuh jarak 1000 kaki, kini Meaghan memeriksa kompas tangannya dan bergerak menuju timur laut. Ia sengaja mengambil jalur memutar, mengikuti jalur pendakian lamanya dengan sang paman ketika masih berprofesi sebagai pengumpul herbal.
Menikmati perjalanan, membuat Meaghan sedikit melupakan kemelut hatinya. Untuk ukuran orang yang akan menyetor nyawanya, bisa tersenyum kepada deretan bunga-bunga liar adalah pencapaian yang menakjubkan.
"Kau tahu pinus? Aku akan senang jika kau memberitahu angin untuk mengabarkan kedatanganku kepada Grey. Namun itu pasti akan membuat kegaduhan pastinya," ujar Meaghan kepada pepohonan pinus, seolah pohon-pohon itu bisa mengerti perkataannya.
Langit pagi di wilayah Edith Cavell yang selalu memukau menambahkan sedikit semangat untuk Meaghan yang mulai ngos-ngosan. Meski jalur yang ia tempuh terbilang relatif datar, tapi ia sudah mulai kelelahan.
Mendekati Meadows Cavell bagian timur, Meaghan berhenti sejenak untuk beristirahat. Ia mengeluarkan bekal roti isinya dan memulai sarapan.
Sisi timur laut dari lembah Meadows Cavell didominasi oleh bukit batu cadas. Kebanyakan berbentuk menyerupai gunung-gunung mini lancip. Beberapa yang menjulang tinggi, tampak memantulkan cahaya matahari pada ujungnya. Itulah mengapa hanya sisi seberang saja yang dijadikan lahan ladang jerami oleh penduduk desa.
Setelah sarapan dan melepaskan lelah, Meaghan melanjutkan perjalanannya kembali. Jalanan berbatu dan terjal sudah terlewati. Kini memasuki wilayah rerumputan dengan pepohoan pinus yang jarang.
Jika Meaghan tak salah ingat, sebentar lagi ia akan menjumpai rumah pertama dan terakhir sebelum memasuki Wild Wood.
Sementara itu seisi desa geger dengan kepergian Meaghan. Nyonya Dodit tua tak henti-hentinya mengatakan bahwa kutukan keluarga Windsar masih berlaku.
Mulutnya yang cerewet meski sudah renta itu tak berhenti mengatakan pembunuhan Denny Doody enam tahun silam, juga raibnya Grey. Oleh sebab itu warga menjadi tahu bahwa Grey menghilang dari desa dan kini Meaghan.
Windsar yang menerima syal dan surat Meaghan yang dibawakan oleh Fred, hanya diam dengan ekspresi dingin seperti biasanya.
Lelaki berambut perak itu membaca kertas peninggalan Meaghan lalu meremasnya. Ia berjalan kembali menuju rumahnya lalu mengunci diri dalam kamar.
Fred yang kebingungan tak tahu harus berbuat apa. Remaja itu duduk bersendekap di depan kandang kambing.
Ia terlalu takut untuk mengetuk pintu kamar Windsar. Di tangannya yang gemetar, Fred menggenggam kertas peninggalan Meaghan, Windsar tadi membuangnya begitu saja di halaman rumah Meaghan.
---
Meaghan mempercepat langkahnya ketika melihat asap membumbung di kejauhan.Sebuah rumah kayu panggung berdiri kokoh di antara pinus. Ada kursi-kursi kayu setengah jadi di halamannya, tampaknya pemilik rumah adalah seorang seniman.
Meaghan menyeberangi halaman tak berpagar tersebut dan mendekati teras rumah. Dua kursi dan meja terbuat dari kayu tertata rapi di dekat pintu masuk.
Mata Meaghan langsung tertuju kepada tas ransel yang tergeletak di salah satu kursinya. Meaghan ingin meyakinkan pandangannya dan maju satu langkah lagi.
Benar, itu kepunyaan Grey. Apakah Grey di dalam sana? Oh Tuhan, kumohon buatlah Grey ada di dalam sana, batin Meaghan senang.
bersambung ...
---
Karya Olimpus Match Battle lainnya:The Lucky Hunter -- @Dhsers
Viloise -- @Chimmyolala
Tersesat di Dunia Sihir -- @Halorynsryn
Aku Bisa -- @okaarokah6
Kurir on the Case -- @AmiyaMiya01
Is it Our Fate? -- @ovianra
Crush -- @dhalsand
Keping Harapan -- @UmalkhFfa
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lucky Hunter
Fiksi UmumApa jadinya saat Meaghan dan paman Windsar bertemu dengan penunggu pegunungan Edith Cavell yang terkenal angker itu? Meski terkutuk, nyatanya mereka masih hidup hingga kini. Bagaimana bisa? Apakah yang mereka berdua coba sembunyikan? Lalu bagaimana...