Bab. 14
Pasangan Aneh
Hati Meaghan senang bukan kepalang. Besar harapannya jika sang suami berada di dalam rumah tengah hutan ini. Mungkin Grey memutuskan untuk kembali ke desa dan sedang beristirahat di dalam sana. Atau kalau tidak, barangkali Grey sedang bimbang dan kini tengah mempertimbangkan keputusannya. Dan banyak 'mungkin' lainnya yang terbesit dalam benak Meaghan. Wanita tersebut lalu memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumah.
Seorang lelaki tambun dengan kepala botak membukakan pintu dan tersenyum. "Halo. Bisa saya bantu?" sapanya dengan suara ramah.
"Em, ya h-halo. Maaf untuk mengganggumu," ujar Meaghan ragu. Meski lawan bicaranya terlihat menyenangkan, tapi insting Meaghan berbisik sebaliknya.
"Ya. Tidak apa-apa. Apakah kamu seorang penjelajah gunung? Adakah kamu tersesat ...," tanya si Pria Botak dan terhenti sejenak. Ia memandangi Meaghan, "atau membutuhkan sesuatu?"
"Terima kasih atas keramahanmu. Tapi saya tidak sedang tersesat ataupun membutuhkan sesuatu. Saya juga bukan seorang penjelajah gunung, hanya sekadar lewat. Kalau saya boleh bertanya, siapakah pemilik tas itu?" tunjuk Meaghan ke arah tas ransel di kursi.
Si Pria Botak tersenyum dan menjawab, "Oh, tas itu. Seorang pria meninggalkannya di sini untuk menukarnya dengan sekantung roti isi dan air minum juga sepasang tongkat pendakian. Ada apa? Apakah ada masalah?" tanya lelaki dengan hidung mancung itu.
Meaghan menggeleng sungkan, "Tidak. Hanya saja saya merasa kenal dengan pemiliknya," jelasnya.
Lelaki berperut buncit itu tampak sedikit terkejut dengan pengakuan Meaghan. Ia lalu mempersilakan Meaghan masuk ke dalam rumahnya. Meaghan mengikutinya karena penasaran dengan keberadaan Grey.
Sebuah ruangan yang berukuran tidak terlalu luas juga tidak terlalu sempit, pada dindingnya terpajang beberapa hiasan kepala binatang yang diawetkan. Terdapat beberapa kursi dan meja berbentuk bulat di salah satu ujung ruangan. Nakas-nakas tinggi ramping berdiri di sepanjang sisi kanan hingga masuk ke ruangan dalam. Nakas-nakas tersebut memajang berbagai macam ukiran kayu.
"Rupanya Anda seorang seniman kayu," kata Meaghan sembari memandangi isi nakas.
Lelaki botak tertawa, suara tawa yang keras, tak sinkron dengan bentuk tubuhnya yang cenderung pendek bulat. Bahkan Meaghan gagal menyembunyikan keterkejutannya.
"Jika Anda menginginkannya, silakan pilih Nyonya ...?"
"Oh, Beacky. Meaghan Beacky. Maafkan saya karena belum memperkenalkan diri." Meaghan tampak tidak enak hati.
"Tidak masalah Nyonya Beacky. Saya sangat maklum, Anda pasti sangat capek hingga tiba di sini. Oh ya, nama saya Thompson. Anda dapat memanggil saya Sammy saja."
Meaghan mengangguk tanda mengerti. Untuk selanjutnya pembicaraan berjalan lancar. Sammy adalah seorang yang benar-benar ramah. Ada saja topik pembicaraan yang ia angkat untuk menghidupkan suasana.
Sammy tinggal dengan istrinya yang bernama Shopie. Berbanding terbalik dengan sang suami, Shopie terlihat sangat tidak bersahabat. Hampir tidak ada senyum sama sekali dari bibirnya yang kering kepada Meaghan, padahal 'kan wajar saja jika memberikan senyuman untuk seorang tamu.
Dari Sammy, Meaghan tahu bahwa Grey memang mampir ke rumah mereka. Grey datang ketika hari masih pagi. Ia meminta sarapan dan juga menceritakan arah tujuannya.
"Sebenarnya saya sempat menahannya, tetapi lelaki itu terlihat telah membulatkan tekatnya," imbuh Sammy.
Lidah Meaghan telah keluh. Ia benar-benar tak punya harapan lagi selain mencoba menjemputnya—atau jasadnya, jika benar Grey masih nekat— Meaghan sungguh berpasrah saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lucky Hunter
Ficção GeralApa jadinya saat Meaghan dan paman Windsar bertemu dengan penunggu pegunungan Edith Cavell yang terkenal angker itu? Meski terkutuk, nyatanya mereka masih hidup hingga kini. Bagaimana bisa? Apakah yang mereka berdua coba sembunyikan? Lalu bagaimana...