“Mereka sudah ketemu?” Dedy—sang bos, bertanya kepada salah satu anak buah yang baru saja masuk ke ruangannya.
Salah satu anak buahnya menundukkan kepala sambil menjawab, “Belum, Bos.”
Pria botak bertato naga di belakang teliganya itu seketika berang. “Dasar bodoh! Kalau belum ketemu, ngapain kalian kembali?” Dia mengambil asbak di meja lalu melemparkannya ke kepala Eko—anak buah yang tadi menjawab pertanyaannya. Asbak itu mengenai pelipis Eko, menyebabkan luka berdarah. Asep yang berdiri di sebelahnya turut bergidik ngeri. Namun, jangankan melawan, menggerakkan kepalanya saja dia tidak berani. Darah yang keluar dari pelipis Eko dibiarkan begitu saja. Selama Dedi belum menyuruh mereka bergerak, maka mereka akan diam seperti patung. Hanya mata mereka berdua saja yang bisa saling memberikan bahasa isyarat.
“Saya tidak mau tahu, kalian harus segera dapatkan bocah kurir itu!”
“Hidup atau mati, Bos?”
“Ya hiduplah! Tolol! Kalau dia mati, bagaimana saya tahu di mana Cdnya?!”
“Memangnya isi CD itu apa, Bos?”
“Jangan banyak tanya! Cepat pergi!”
“Baik, Bos!” Keduanya segera pergi tanpa berani mengucapkan sepatah katapun. Di luar ruangan, Eko segera memegangi kepalanya. Sementara Asep mengambil tisu di kantong dan membantunya membersihkan darah di wajahnya.
“Sakit, Ko?”
“Ya, sakitlah bego!”
“Tapi tadi kok kamu diam saja?”
“Kalau gue teriak, entar bukan benda lain yang melayang. Bisa-bisa nyawa gue juga ikutan melayang!”
“Si Bos segitunya. Emang apa sih isi CD itu?”
“Mana gue tahu! Yang pasti isinya sangat berharga buat Bos.”
“Lagian kok susah amat ya, ngejar tuh kurir. Kita mesti gimana sekarang?”
Mendengar pertanyaan rekannya, sambil mencuci mukanya di wastafel, Eko berpikir. Dia mengangkat kepalanya ke depan cermin, lalu mengangkat tangan. “Kita hadang dia di gerbang keluar kota. Cepat Lo telepon Ferdy.”
“Oke!” Asep segera mengikuti perintah Eko untuk menelepon Ferdy—salah satu rekannya yag bertugas di dekat gerbang perbatasan keluar kota.
Ferdy yang tengah asyik bermain kartu segera mengangkat telepon dari Asep. Dia mengangguk-anggukkan kepalanya tanda mengerti semua instruksi dari Asep. Begitu telepon ditutup, dia segera beraksi membawa beberapa orang anak buah untuk berjaga-jaga di pintu keluar kota
Sementara itu, Bams dan Satria tengah berhenti di sebuah masjid untuk menunaikan solat sekaligus menumpang mandi. Selesai mandi dan solat, mereka berdua duduk untuk memakai sepatu.
“Sat, kenapa kita enggak serahkan aja tuh CD ke tangan polisi?”
“Terus?”
“Atau kita kembalikan ke kantor lo?”
“Hm, ide yang bagus,” puji Satria sambil tersenyum.
Pletak! Seketika Bams berteriak,”Waduh!”
Satria baru saja mendaratkan jitakannya di kepala Bambang.
“Lo mikir! Kalau kita lapor polisi, yang ada malah kita yang ditangkap. Setelah itu, kita diserahkan ke gerombolan kepala botak itu. Dan lo, enggak bakalan bisa online game selamanya! Se-la-ma-nya!” Satria mengeja dan memberi penekanan sambil menggerakkan telapak tangannya di leher. Sontak Bams melotot ngeri.
“Terus, kalau kita kembalikan ke kantor, yang ada gue jadi bulan-bulanan si Eva dan yang pasti gue bakal dipecat. Terus gerombolan si botak bakal datang ke kantor dan—“ Lagi-lagi Satria memperagakan hal yang sama. “Bukan cuma gue, bisa jadi semua orang yang ada di sana.”
“Terus?”
“Alamat yang ada di sini, dekat sama kampung halaman gue. Enggak lebih dari semalam, cuma ...,” Satria menjeda kalimatnya. Dia mendongak menatap langit yang mulai menggelap.
Bams yang ikut merasa kebingungan dengan sikap Satria pun ikut mendongakkan kepalanya. Sahabat baiknya itu selama ini jarang sekali membicarakan kampung halamannya. Dia juga sudah beberapa tahun ini tidak pulang. Yang Bams ketahui adalah bahwa setiap bulan, Satria selalu mengirimkan sebagian besar gajinya untuk orang tuanya di kampung.
Tiba-tiba, sebuah tepukan di pundak mengagetkan.
“Anak muda jangan kebanyakan ngelamun, di depan masjid lagi.Mau jadi apa negeri kita ini kalau generasi mudanya kerjaannya melamun saja. Harapan bangsa dan tonggak kemajuan zaman itu kalian, jadi harus terus semangat dan aktif. Kalau punya mimpi mesti diusahakan, jangan pernah menyerah. Tuh lihat anak muda itu. Selesai solat langsung siap berangkat lagi.” Bams menoleh, seorang pria paruh baya berpeci menunjuk ke arah depan. Rupanya Satria sudah bersiap di atas sepeda motornya dan melempar senyum sambil mengangkat kedua alisnya.
“Bang—“ Bams seketika menutup mulutnya. Dia urung memaki karena di sebelahnya ada sesebapak tadi. “Mari, Pak. Saya permisi,” pamitnya melesat pergi.
Dia segera naik di jok belakang, “Emang bangsat, Lu!”
Satria tertawa mendengar nada kesal keluar dari mulut sahabatnya.
“Sat, gue laper.”
“Bentar lagi ada warung makan di dekat perbatasan keluar kota. Di sana ayam gorengnya enak. Nanti kita mampir di sana aja.’
“Oke.”
“Tapi ...,”
“Tapi apa?”
“Biasa, elu yang bayar!”
“Dasar! Ganteng tapi miskin! Mending gue kemana-mana! Biar kata kayak pohon beringin, tapi isi dompet selalu tebel!”
“Halah!”
Mereka berdua masih tertawa-tawa sepanjang jalan. Sementara di depan, bahaya tengah menanti mereka sejengkal lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kurir On The Case
AdventurePandemi telah mengakibatkan PHK massal. Satria dan Bambang pun tidak luput dari hal tersebut. Dalam segala keterbatasan hidup, Satria memilih menjadi kurir sebuah perusahaan ekspedisi. Hujan badai, panas terik dia lalui agar paket-paket sampai di t...