Pulang

126 8 2
                                    

Roda-roda mungil yang menempel setia di koper biru itu dengan sabarnya menggelinding teratur di antara lautan manusia yang tengah menyeret benda sejenis. Seakan tidak tahan dengan sesaknya bandara, sang pemilik koper pun mempercepat langkahnya untuk keluar dari tempat tersebut.

Ia berdiri dan menunggu di teras bandara yang suasananya tak jauh berbeda, tapi karena ada udara segar dari luar, paling tidak, terasa sedikit lebih baik.

Penerbangan dari Frankfurt ke Jakarta memang sudah cukup melelahkan, ditambah lagi dengan menunggu jemputan yang tak kunjung datang. Akhirnya dirinya pun memutuskan untuk bermain game di ponselnya. Tetapi sebelum dia membuka aplikasi game tersebut, sebuah pesan masuk.

"Pasti kamu sudah sampai di Jakarta sekarang. Rayan, kamu nggak perlu ke rumah sakit dulu, istirahat saja di rumah. Besok pagi pak Hasan yang antar kamu ke rumah sakit."

Mood untuk bermain game seketika menguap saat ia membaca pesan itu. Pesan ketiga yang dikirim oleh ibunya semenjak Rayan meninggalkan negeri ini tiga tahun silam. Ia tak ingin membalasnya, sama seperti dua pesan yang lain.

Hari pertama yang cukup baik di kota ini. Setidaknya Rayan tidak perlu terjebak macet yang begitu menggila. Langkah pelannya memasuki pekarangan rumah bergaya Eropa yang tampak berbeda dari rumah-rumah di sekitarnya yang mengadopsi gaya minimalis. Tak banyak perubahan yang dapat dijelaskan dari rumah tersebut, hanya saja, sekarang tanaman-tanaman di halaman rumah itu terlihat kering dan tak terawat.Rayan merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang sepertinya baru saja dibersihkan. Matanya terpejam tetapi pikirannya terus saja berkelana hingga akhirnya sampai pada seseorang.

Rasa sedih perlahan-lahan merayap masuk ketika wajah seseorang itu muncul dalam benaknya. Seseorang yang selama ini membuatnya bertahan kini membiarkan dirinya sendiri untuk sadar pun tidak bisa. Ah, seandainya ia tidak pergi begitu jauh tiga tahun lalu, pasti pada saat itu ia bisa melindunginya.

Dan kini, Rayan hanya bisa meratapi keputusan bodohnya itu dengan air mata yang mengalir dari matanya yang masih terpejam.

---------------

Halo!

Ini dia chapter pertama dari story pertama aku di wattpad! Agak ragu sih mau post cerita ini, biasanya ide-ide cerita cuma numpuk di kepala soalnya nggak ada waktu mau nulis. Eh tiba-tiba punya keberanian untuk publish di wattpad :D

Chapter ini hanya untuk perkenalan... mungkin story nya akan diupdate 2 kali seminggu. Feel free untuk comment dan vote ^^

Thank you

-K

A LifetimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang