His Voice

26 6 1
                                    

"Saya harus mulai dari mana?" tanya Tara kepada Rayan tanpa sedikitpun menoleh padanya.

"Pertama kali kalian bertemu," jawab Rayan dan gadis disebelahnya pun mengangguk.

"Jadi... sama seperti pelanggan toko saya yang lain, Riana datang ke Haru untuk membeli buket bunga matahari. Sambil nungguin saya buat pesanannya, dia minta izin untuk foto-foto bunga dagangan saya. Hari-hari berikutnya dia datang lagi buat foto-foto barang-barang di Haru. Katanya dia bosan di rumah. Jadi, setiap hari Riana datang, kita mulai cerita-cerita, kalau sudah mau pulang,Riana pasti minta satu bunga kering tiap harinya," Tara menarik napas dalam-dalam setelah bercerita begitu panjang.

Rayan tak menyangka Riana dengan begitu cepat bisa membuat pertemanan dengan orang yang baru saja dia kenali. Masih penasaran dengan kelanjutan cerita dari Tara, laki-laki itu pun mempersilakannya untuk lanjut bercerita.

"Tapi Riana juga nggak setiap hari datang ke toko saya. Kalau dia datang, dia pasti cerita ke saya tentang apa saja yang dia temui di tempat-tempat lain. Karena nggak ada yang bisa saya cerita sama Riana, jadi saya Cuma kasih dia bunga kering yang dia minta," gadis itu memandang ke depan, seakan menonton salah satu scene yang terputar di otaknya. Kini giliran Rayan yang bertanya.

"Apa Riana pernah cerita tentang saya?" Kalimat tanya yang keluar dari mulut Rayan tidak membuat Tara kaget, dirinya sudah mengira akan ada pertanyaan seperti itu.

Tara menggeleng pelan, kembali sibuk menerka pertanyaan apa lagi yang akan dilontarkan oleh lelaki di sampingnya. Selama beberapa saat, tidak ada suara yang memenuhi udara pagi itu. bingung dengan keadaan seperti itu, Tara membuka mulutnya.

"Memangnya kenapa?" Tara menoleh, pandangannya kini lurus pada laki-laki itu.

"Nggak kenapa-kenapa. Cuma penasaran."

Mendengar jawaban Rayan, gadis itu hanya manggut-manggut, percaya pada apa yang dikatakannya.

Rayan melirik jam tangannya, "sekarang waktu besuk sudah mulai. Ayo kita jenguk Riana."

Tanpa keraguan, Tara bangkit dari duduknya dan berjalan pelan di sebelah Rayan.

***

Kini suasana di dalam ruangan rawat inap itu terasa jauh berbeda dari sebelumnya, tak ada lagi aroma kesedihan yang meruak di tempat ini, sekrang telah digantikan oleh senyum dan semangat yang positif demi kesembuhan Riana nantinya.

Meski mereka tidak tahu kapan hal itu akan terjadi.

Gadis itu duduk di sofa yang menghadap ke sebuah televisi yang menggantung di dinding. Tak ada yang benar-benar ia kerjakan sekarang selain duduk dan menatap benda persegi yang sedang menampilkan sebuah film kartun. Tak lama setelah itu, Tara bosan dan berjalan ke arah ranjang tempat Riana berbaring dan duduk di sebelahnya.

"Tadi si Rayan tanya-tanya tentang kamu lho, Ri." Perlahan Tara menyentuh jemari kurus milik Riana, berharap satu keajaiban terjadi ketika dirinya melakukan hal itu. Ternyata tidak ada.

"Kok kamu nggak pernah cerita soal kamu punya kembaran? Mungkin waktu itu kamu nggak sempat ya, Ri," Dengan terpaksa Tara membiarkan dirinya menjawab sendiri pertanyaan yang ia lontarkan, sambil berusaha menahan tangisnya.

"Aku juga belum sempat cerita ke kamu kalau dulu aku itu bukan sepenuhnya manusia." Suaranya lirih, tersamarkan dengan adanya bunyi monitor detak jantung. Lalu kemudian ia melanjutkan, "Tapi tenang, kata Rone aku akan segera jadi manusia seutuhnya. Jadi kamu nggak usah kaget, Ri. Aku juga nggak mau kehilangan teman kayak kamu." Tara menyelesaikan kalimatnya yang disusul dengan tawa pelan yang canggung, tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka.

A LifetimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang