Twins

44 6 0
                                    

Rayan memperlambat langkah kakinya ketika Ia memasuki koridor rumah sakit yang dituju. Matanya sibuk memindai ruangan yang bertuliskan angka 317. Beberapa saat kemudian dirinya telah berdiri di depan pintu kamar yang Ia cari.

Tangannya menggenggam erat gagang pintu ruangan itu. Koridor tempatnya berdiri pun lengang, jadi tak ada yang memperhatikan tindakannya yang sedikit aneh itu karena entah sudah berapa lama Ia berdiam di posisi seperti itu.

Pintu kamar 317 itu terbuka. Udara dingin dari dalam kamar diam-diam langsung masuk ke pori-pori kulitnya. Tubuh Rayan gemetar, bukan karena kadinginan. Melainkan karena melihat seseorang yang terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit dengan ditemani selang infus dan monitor detak jantung.

Ah, Rayan sangat benci dengan bunyi alat itu.

Dirinya tak pernah berharap menyaksikan pemandangan seperti ini. Terakhir kali mereka bertemu, gadis penggila fotografi ini masih baik-baik saja, bahkan ceria. Meskipun di hari itu mereka berpisah jauh, gadis itu tetap tersenyum bahagia atas prestasi saudaranya, seakan berharap sahabat terbaiknya bisa beruntung di negeri orang dan suatu hari nanti pasti akan bertemu kembali.

Rayan menghela nafas, mengingat kembali wajah ceria itu. Sayangnya, harapan berubah menjadi penyesalan ketika mendapati fakta bahwa saudari kembar satu-satunya, orang yang sama berharganya dengan nyawanya sendiri, telah terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit selama enam bulan.

Seandainya gue nggak pergi tiga tahun lalu..

Seandainya gue tetap di sampingnya dari dulu..

Seandainya gue nggak seegois itu..

Seandainya...

Kedua pasang kaki itu berjalan mendekati ranjang tempat gadis itu terbaring. Rayan merasa seperti telah dilempari ratusan pisau ketika melihat wajah tirus nan pucat itu. Tulang pipi yang menonjol menandakan tak ada yang benar-benar dirinya konsumsi selain nutrisi dari cairan infus.

Saudara kembar itu sekarang tengah berdampingan. Rayan dengan lembutnya menggenggam tangan kurus perempuan di sampingnya itu. Dan saat itu, sesuatu muncul di dalam pikirannya.

Ini nggak seharusnya terjadi sama orang yang nggak salah apa-apa. Kenapa bukan gue aja yang koma di sini?

Hatinya berat memikirkan kejadian yang menimpa saudarinya ini. Kejadian enam bulan lalu yang tak seorang pun memberitahunya. Kenapa orang-orang begitu tak peduli dengan keadaannya saat ini? Menganggap koma selama enam bulan seperti ini hanyalah sakit biasa. Seseorang harus betanggung jawab atas kejadian ini.

Tapi apa yang harus dirinya lakukan? Dari mana dirinya harus memulai?

Rayan memutuskan untuk tidak bersedih di depan gadis ini. Ia tak ingin membawa pengaruh buruk kepadanya. Untuk itu, Rayan kini mencari cara agar Ia bisa menebus kesalahannya selama tiga tahun terakhir. Apakah Ia harus kembali menetap di Indonesia agar dirinya bisa mengurus dan menjaganya setiap hari? Mungkin Ia bisa memulainya dengan hal-hal kecil yang berguna.

Laki-laki itu mengedarkan pandangannya ke berbagai penjuru ruangan. Tak ada yang spesial di tempat ini. Hanya fasilitas-fasilitas standar yang tersedia. Otak Rayan kini mendapatkan suatu ide, Ia ingin membawa barang-barang favorit milik gadis ini, Ia pernah melihatnya di film-film yang tokohnya dirawat di rumah sakit, keluarganya membawa barang-barang kesukaan pasien.

Keluarga. Rayan hampir tertawa ketika memikirkan kata itu.

Sudah berapa lama mereka berdua merasakan adanya keluarga? Rayan bertanya di dalam hati. Bayangan orang-orang yang dulunya menjadi bagian dari keluarganya lewat seketika di pikirannya, membuat Rayan merasa pusing. Tidak seharusnya keluarga meninggalkan satu sama lain. Tidak seharusnya keluarga bersikap egois. Tetapi nyatanya, mereka melakukan hal-hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh keluarga. Apakah Rayan membenci mereka? Sudah pasti.

A LifetimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang