01

1.5K 114 14
                                    

Hari ini ulang tahunku yang ketujuh belas. Tidak ada ucapan selamat ulang tahun apalagi kado dari teman-temanku karena aku tidak punya teman. Tidak ada juga ucapan dan kado dari orangtuaku karena ayahku sudah lama meninggal dunia, dan ibuku yang baru menikah lagi itu sedang berbulan madu dengan suaminya. Dan alih-alih membagi momen bahagia bertajuk Happy Sweet 17 to Me di media sosial, aku akan menceritakan pengalaman yang mengerikan.

"Sekala, tangkap!"

Lemparan bola basket itu terlalu cepat dan mendadak. Alih-alih kutangkap, bola menghantam wajahku dengan keras. Kalau saja menangis di depan umum dianggap normal bagi remaja cowok 17 tahun, aku pasti sudah melakukannya.

"Kamu nggak apa-apa, Sekala?" tanya Pak Ichan yang sigap berlari ke tengah lapangan, membuat pertandingan terjeda.

"Nggak apa-apa, Pak." Aku harus berpura-pura kuat agar Pak Ichan tidak menyebutku Cowok Lembek atau Banci, seperti yang dilakukan guru-guru olahragaku sebelumnya.

"Kamu harus lebih fokus dan gesit lagi, ya!" Alih-alih menghujatku, Pak Ichan justru menyemangatiku. "Ayo lanjutin pertandingannya!"

Bisa dibilang, Pak Ichan adalah satu-satunya hal terbaik yang ada di SMA Ventura Nusantara atau yang lebih dikenal dengan nama SMA Venus ini. Dia belum pernah mengatakan hal buruk tentangku, setidaknya sampai pada minggu keduaku menjadi siswa baru di sini. Mungkin karena dia wali kelasku. Atau mungkin karena pada dasarnya Pak Ichan adalah guru yang baik dan bijaksana, tidak seperti guru-guru olahragaku sebelumnya yang berjiwa tukang bully.

Semua teman sekelasku bukannya jahat dan menyebalkan. Mungkin mereka berpikir aku sombong dan tidak suka berteman, lalu mereka salah paham dan menjauhiku. Kenyataannya, aku hanya anak introver yang sulit memulai pertemanan. Setiap kali berada di lingkungan baru, aku cenderung pasif, menunggu mereka mendatangiku lebih dulu.

Seandainya mereka tahu, ada banyak hal berat yang harus kuhadapi saat ini. Meninggalkan Jakarta dan rumah kami yang penuh kenangan bukanlah hal yang mudah dan menyenangkan. Beradaptasi dengan lingkungan baru selalu terasa sulit bagiku. Dan tinggal di Bandung bersama ayah dan saudara tiriku yang usianya tiga bulan lebih tua dan kini menjadi teman sekelasku, rasanya bagaikan terperangkap dalam mimpi buruk yang penuh kecanggungan dan perasaan-perasaan tak menyenangkan lainnya.

Kalau Pak Ichan tidak memperkenalkanku sebagai saudara tiri Fabian, anak-anak di kelas XI IPA 2 ini tidak akan pernah tahu soal itu. Mungkin memang seharusnya mereka tidak perlu tahu. Tidak ada untungnya juga bagiku. Aku pergi dan pulang sekolah naik bus, sementara Fabian naik sepeda motor. Fabian pun tidak pernah mengajakku nongkrong bareng teman-temannya, bahkan dia diam saja saat aku di-bully temannya yang bernama Zaid pada hari ketigaku di sekolah ini.

Pada siang hari yang terik itu, tiba-tiba saja seorang cowok berambut cepak dan bertampang tengil merebut ponsel di tanganku lalu melemparnya ke lantai. Layar ponselku retak dan sepertinya ada komponen lainnya yang rusak.

"Itu ganjaran buat orang cepu kayak lo!"

"Sumpah, bukan gue yang ngelaporin lo dan temen-temen lo ngerokok," kataku, berusaha membela diri. Pada jam istirahat kala itu, aku sedang berjalan-jalan di taman belakang sekolah yang sepi, lalu tak sengaja menemukan beberapa anak sedang merokok di depan gudang. Esok harinya, mereka dipanggil ke ruang BK. "Mungkin guru BK punya mata-mata, dan orang itu nggak mungkin anak baru kayak gue."

"Nggak ada maling yang bakal ngaku." Zaid menatapku tajam. Tangan kanannya terkepal menyimpan kemarahan yang siap diledakkan. "Mungkin ini cukup buat nutup mulut ember lo."

Sekala dan Hantu Tanpa KepalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang