10

294 44 18
                                    

"Lo yang ngelakuin semua ini?" Aku bertanya kepada Hatala saat pertama kali mendengar kabar kematian Zaid. Kali ini aku tidak menggunakan suara batin, melainkan dengan bersuara pelan. "Lo yang bunuh Zaid, kan?!"

Hatala bergeming.

"Gimana caranya tadi malam gue bisa berada di sana dan ngeliat kejadian mengerikan itu dengan mata kepala gue sendiri? Dan gimana caranya gue bisa tiba-tiba balik ke kamar gue lagi lalu berpikir kalau semua itu cuma mimpi?"

Hatala masih bergeming. Angin berembus lembut, membelai rambut dan tanganku. Kuhirup udara Bandung yang sejuk. Sejenak memberiku rasa tenang dan nyaman. Aku dan Hatala duduk di balkon kamarku sambil menatap langit yang masih kelabu, menunggu matahari terbit dengan sempurna di ufuk timur.

"Gue emang benci sama dia, tapi gue nggak pernah berharap dia mati setragis itu di depan mata gue. Gue juga nggak bener-bener serius waktu nyumpahin dia kena karma yang lebih menyakitkan daripada kejadian yang gue alami di lapangan basket kemarin...." Tiba-tiba aku teringat diari si anonim di aplikasi JanganDiklik. Di bagian terakhir kisahnya, dia menuliskan hal buruk menimpa Edgar sesuai doa yang diam-diam dia ucapkan di dalam hati. Untuk memastikannya, aku membuka aplikasi itu dan membacanya sekali lagi.

... Waktu denger kabar itu, gue kaget dan merinding. Musibah yang menimpa si Edgar persis sama seperti doa yang gue ucapin diem-diem di dalam hati.

"Menurut lo, semua yang terjadi ada hubungannya dengan aplikasi JanganDiklik?"

Untuk yang pertama kalinya, Hatala bersikap kooperatif. Tangannya bergerak, lalu menunjuk layar ponsel yang kutunjukkan kepadanya. Aku tidak paham apa maksudnya. Apakah dia mengiakan kata-kataku, atau bagaimana? Aku mendengus kesal. Kenapa Hatala lambat dalam hal seperti ini, tetapi sangat liar dan kejam ketika menghabisi Zaid di rooftop sekolah tadi malam?

"Sekarang lo pegang hape gue, terus lo ketikin sesuatu di notes yang udah gue buka. Lo ketik semuuua yang ingin lo sampaikan ke gue, biar gue nggak bingung lagi!"

Hatala kembali bergeming.

"Ayo!" Aku memaksanya memegang ponselku. Jika dia mampu mencekik dan menghajar Zaid sampai babak belur begitu, seharusnya dia juga mampu memegang ponsel dan mengetik.

Hatala tampaknya marah. Tangannya menepis ponselku kemudian menamparku. Saat kupikir dia akan lanjut menyerang atau bahkan melukaiku secara brutal, tiba-tiba dia menghilang.

*

Kutatap kartu nama Inspektur Tio yang dia berikan setelah sesi interogasi beberapa saat yang lalu. "Kalau kamu menemukan informasi terkait kematian Zaid, harap hubungi saya," katanya. "Atau apa pun yang ingin kamu sampaikan dan tanyakan kepada saya, silakan, jangan sungkan-sungkan."

Sampai detik ini, belum juga ada kabar dari Raphael. Aku berencana meminta bantuan Inspektur Tio untuk mencari keberadaan Raphael. Sudah lebih dari 3x24 jam dia menghilang, dan kurasa pihak kepolisian perlu melakukan penyelidikan. Aku curiga hilangnya Raphael ada kaitannya dengan kemunculan Hatala. Namun, aku berharap Hatala bukanlah Raphael, meskipun peluang kemungkinannya masih 50:50.

"Sekalaaa...." Bisikan lirih itu membuyarkan konsentrasiku tentang rencana pelaporan atas hilangnya Raphael. Bisikan yang sebelumnya kudengar saat aku melewati lapangan basket itu terus mengikutiku hingga ke dalam kelas. Dan arwah Zaid pun kini sudah berpindah ke tempat duduknya di barisan paling belakang sana. Aku tidak berani menoleh untuk yang kedua kalinya. Antara berusaha fokus pada rencanaku menghubungi Inspektur Tio, atau fokus pada pelajaran Fisika yang sedang berlangsung.

Sekala dan Hantu Tanpa KepalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang