07

330 44 10
                                    


Sebelum mata batinku terbuka, aku sudah cukup tersiksa akibat insomnia. Aku baru bisa tertidur setelah satu atau dua jam bergumul di kasur. Untuk bisa masuk ke fase tidur yang lelap, rasanya sesulit berusaha menerobos dinding plastik berlapis-lapis. Sekarang insomniaku makin parah. Akibatnya, aku makin sering mengantuk di siang hari, terutama saat berada di kelas dan di dalam bus.

Pertama kalinya aku ketiduran di dalam bus adalah saat aku baru tiga hari menjadi siswa SMA Venus. Aku ingat, hari itu Zaid menghajarku gara-gara dia pikir aku melaporkannya ke guru BK. Angin sepoi-sepoi memanjakanku yang kelelahan sepulang sekolah hari itu. Mukaku lumayan lebam di pipi kiri, tapi tidak ada orang yang memperhatikan dan benar-benar peduli.

Aku terbangun di terminal. Jauh dari halte biasa aku turun. Ponselku mati. Dan uang di dompetku hanya tersisa Rp2.000. Aku menunjukkan buku kecil berisi alamat rumah Om Arkan dan bertanya kepada beberapa orang di sekitar. Mereka memberitahuku rute menuju alamat yang kutuju, tetapi aku benar-benar buta arah karena baru pertama kali datang ke Bandung.

Sampai akhirnya ada seorang cowok yang berbaik hati membantuku. Dia memesankan ojek online lewat ponselnya, sekaligus membayarkan ongkos dengan uang elektroniknya.

"Gue boleh minta nomor hape atau nomor rekening lo, buat balikin ongkos ojol ini?" tanyaku, memakai bahasa kasual karena cowok itu berpenampilan sama sepertiku, memakai seragam SMA.

"Nggak perlu lo balikin. Yang penting lo nyampe rumah dengan selamat," jawab cowok berjaket hijau army itu. "Oh ya, itu kenapa muka lo bonyok gitu? Lo abis ditonjok copet atau gimana?"

Aku terharu karena dia sebaik dan seperhatian itu terhadapku. Berkali-kali aku mengucapkan terima kasih, sampai lupa menanyakan siapa namanya dan di mana SMA-nya.

Mengenang kejadian itu membuatku teringat pada kata-kata Raphael di rooftop sekolah tempo hari. Meskipun dunia ini dipenuhi orang jahat, lo harus percaya bahwa orang baik masih tetap ada.

Dan sekarang aku ketiduran lagi di dalam bus. Untungnya ada seseorang yang menepuk-nepuk bahuku sampai aku terbangun, sebelum bus melaju terlalu jauh dari halte tempat biasa aku turun.

"Stop, Bang! Stop!" teriakku kepada pak sopir sambil buru-buru berlari menuju pintu keluar. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat sore, dan langit terlihat sangat mendung. Selain takut kehujanan, aku pun takut bertemu makhluk-makhluk menyeramkan yang masih menggangguku, meskipun jumlahnya sudah mulai berkurang.

Saat hendak melompat dari bus, aku baru ingat belum berterima kasih kepada seseorang yang berbaik hati membangunkanku. Aku menoleh ke arah tempat dudukku tadi, tetapi tidak melihat siapa-siapa di sekitar situ. Bus ini biasanya penuh pada jam pulang sekolah normal. Tadi aku harus piket dulu setelah jam terakhir, lalu sempat menonton para staf OSIS—terutama Karin—yang tampak sedang sibuk memasang umbul-umbul untuk acara perayaan ulang tahun SMA Venus di lapangan basket. Jadi, saat ini bus tampak lengang.

Selama beberapa detik setelah turun, aku terdiam sambil menatap jendela bus yang melaju di hadapanku. Saat itulah aku melihat dia untuk yang pertama kalinya. Hantu tanpa kepala.

Sosok itu muncul secara perlahan, mulai dari transparan hingga solid. Aku terkesiap dan tubuhku tak bisa bergerak. Mataku terus tertuju kepada sosok menyeramkan itu. Dia menembus dinding bus dan melompat turun. Kemudian... dia berjalan ke arahku.

Astaga! Dia benar-benar menghampiriku!

Aku langsung berlari sekencang-kencangnya begitu tubuhku bisa bergerak lagi. Entah berapa orang yang tak sengaja kutabrak di pinggir jalan.

Sekala dan Hantu Tanpa KepalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang