31✧⃝•͙┄

179 24 11
                                    

Dikelilingi anak-anak yang duduk beralaskan rerumputan, gadis itu berulang kali merapikan rambut pendeknya di tengah-tengah kegiatannya bercerita. Angin musim semi pagi itu memang bertiup lebih kencang dari pada biasanya. Hembusannya bahkan mampu membuat beberapa kelopak forsythia nan indah turut terbang mengikutinya.

Tak jauh dari sana, dua orang pria tengah memperhatikan gerak-gerik gadis mungil yang terlihat tertawa lepas tanpa beban itu.

"Terima kasih telah membesarkannya dengan baik Sun- ah maksudku Tuan Woohyun."

"Hahaha," sang lawan bicara terdengar memalsukan tawanya. "Kenapa jadi kaku seperti ini sih? Ah aku sangat membenci perasaan ini!"

Kedua pria itu lantas menghela nafas secara bersamaan.

"Apakah aku harus memanggilmu menggunakan 'Tuan' juga? Tuan Mingi, begitu?"

"Mendengar panggilan seperti itu darimu entah mengapa rasanya menjadi aneh," timpal Mingi menggaruk tengkuknya.

Woohyun berdecih.

"Soal Nari, kau tidak perlu berterima kasih. Itu sudah menjadi kewajibanku sebagai pemilik tempat ini."

Mingi mengetuk-ngetuk ujung jemari pada cangkir keramik dalam genggaman. Sebenarnya ada banyak sekali yang ingin ia utarakan pada sosok pria yang terduduk di sampingnya ini, tapi entah mengapa sulit sekali untuk menyampaikan kata demi katanya.

"....maaf."

Akhirnya satu kata itu berhasil lolos dari bibirnya yang semula terkatup.

Woohyun mengerti benar maksud Mingi. Satu kata itu nyatanya berhasil mengorek kembali ingatan akan satu peristiwa besar yang terjadi dalam hidupnya.

"Sudahlah," Woohyun kembali menghela. "Itu kan sudah lama berlalu."

"Tapi tetap saja aku telah salah, maafkan aku yang tidak mau mendengarkanmu waktu itu, Sunbae."

"Berhentilah meminta maaf atau akan ku siram kau dengan kopi panas ini!" pekik Woohyun. "Lagi pula kau kan sudah menerima hukuman dari langit. Apa kau pikir aku akan setega itu dengan tidak memaafkanmu?"

"Ma-"

Woohyun yang mengangkat cangkirnya tinggi berhasil membungkam kembali mulut Mingi. Pria jangkung itu kemudian membungkuk berulang kali membuat Woohyun tersenyum miring.

"Yak! Berhentilah Song Mingi!"

Mingi yang tersentak di buat sekejap tak berkutik.

"Hhh... Kita ini sudah ditakdirkan untuk meninggalkan emosi keduniawian sedari awal, kau tahu?" Woohyun membenarkan posisi duduknya. "Dari dulu aku sudah menyadarinya kalau kau itu berbeda. Jadi apapun keputusan yang kau ambil aku tak akan mempermasalahkannya."

Setelah melambaikan tangan pada anak-anak, Nari berlari kecil menghampiri kedua pria yang tengah tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

"Kau sama sekali tidak berubah ya, Nari."

Gadis itu kembali tersenyum cerah, "ah Paman ini bisa saja."

"Sering-seringlah datang kemari," ujar Woohyun. "Lihatlah mereka begitu senang akan kedatanganmu."

Raut wajah Nari seketika berubah.

Pasalnya kedatangan Nari kemari adalah bentuk salam perpisahannya untuk terakhir kali.

"Terima kasih banyak atas bantuannya ya Nari," ujar Woohyun lagi. "Lain kali ajaklah Seonghwa. Anak itu, apa dia sudah melupakanku?"

"Tidak mungkin Kakak melupakanmu, Paman. Kau itu sudah kami anggap seperti Ayah kandung kami sendiri. Terima kasih telah merawat kami sepenuh hati."

Sell My Soul [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang