❝Ma, kenapa pergi secepat ini? Padahal belum ada kisah indah untuk kita berdua.❞
***
[⚠️ Mention of suicide ⚠️]
***
Siswa tingkat tiga sekolah menengah atas kini tengah menjalani masa bersantai selepas ujian. Tepatnya seminggu lalu, ujian sekolah resmi berakhir. Kini, para siswa maupun siswi dibebaskan untuk hadir atau tidak ke sekolah. Toh, tak ada lagi materi yang harus mereka pelajari. Jadi, datang atau tidaknya tak menjadi masalah berarti.
Bagi kebanyakan orang, saat-saat lenggang seperti ini mungkin akan dihabiskan untuk menyegarkan otak dengan berbagai hiburan dan liburan, entah itu jalan-jalan, atau hanya sekedar berguling kesana-kemari di atas kasur sembari menonton film. Namun, hal tersebut tak berlaku bagi Kasa.
Pemuda pemilik senyum unik itu lebih memilih bekerja, ketimbang membuang waktunya untuk berleha-leha. Baginya, libur merupakan kesempatan emas untuk mengais rupiah. Pekerjaan yang sebelumnya ia lakukan part time, sekarang berganti menjadi full time. Kasa datang pagi hari, dan pulang saat sang mentari sudah cukup lama membenamkan diri.
Tak bisa bohong, Kasa merasa begitu lelah. Terlebih, dengan keadaan tubuh yang tak lagi sebugar dahulu karena ada sesuatu yang bersarang dan menggerogoti dirinya sedikit demi sedikit. Tapi, Kasa tak ingin menjadi lemah. Ia tulang punggung keluarga. Di dunia yang fana ini, ada banyak hal yang membutuhkan uang. Dan tentu, uang tak jatuh dari langit hanya dengan menadahkan kedua telapak tangan. Maka dari itu, Kasa harus giat menukar tenaga yang ia punya dengan sekelumit upah meski nominalnya tak seberapa.
Selain karena tuntutan kebutuhan, Kasa juga sadar, dirinya harus lebih rajin mencari lembaran rupiah demi pengobatan sang mama. Kalau tidak bekerja, harus dengan apa dirinya membayar semua biaya? Tidak mungkin dengan daun, bukan?
Di pagi yang cerah ini, Kasa memacu tungkainya lebih cepat, berlari sekencangnya selepas turun dari bis. Bukan apa, ia sudah terlambat masuk kerja.
Dengan napas ngos-ngosan, ia berjalan cepat memasuki sebuah toko bangunan, segera menghampiri sesosok pemuda jangkung yang berdiri di meja kasir. "Bang, maaf Kasa telat."
"Elah, Sa. Santai aja kali, cuma telat 10 menit kok. Lagian, Gio dah bilang, lu telat karna lagi ada urusan," jawab Erik, anak pemilik toko bangunan yang menjadi tempat Kasa menggali rejeki.
"Ya tetep aja, Bang. Kasa minta maaf karna telat."
"Iya, iya. Dah gue maafin. Lagian, elu pake minta maaf segala, udah kayak lebaran aja." Erik tak sengaja melirik bercak samar berwarna merah yang menjejak di baju Kasa. "Baju lu kena apa dah? Kok bercaknya merah-merah gitu? Terus, itu jidat lu kenapa ditutupin plester?"
Yang ditanyai menggeleng cepat. "Ngga papa, Bang." Meraba plester di keningnya, Kasa kemudian berkata, "Ini ... tadi pagi kepleset di kamar mandi, ngga sengaja kebentur pinggiran bak. Pelipis Kasa berdarah dan netes dikit kena baju. Kasa buru-buru pergi, jadi ngga sempet ganti baju," dustanya dengan apik.
Erik menggeleng sembari berdecak beberapa kali, kemudian berujar, "Ya ampun, Sa. Elu ceroboh bener."
"Hehe, abisnya licin, Bang," jawab Kasa cengengesan.
"Lain kali ati-ati. Bahaya loh itu."
"Iya, siap, Bang." Kasa menggerakkan tangannya seakan memberi hormat.
"Ngomong-ngomong, elu sehat, Sa? Muka lu pucet amat gue liat-liat."
"Sehat kok, Bang. Pucetnya efek begadang aja ini," sahut Kasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
JUST
Teen Fiction❝Seandainya bisa milih, Kasa lebih baik ngga pernah terlahir ke dunia, daripada harus jadi alasan kehancuran keluarga kita.❞ *** Pada hakikatnya, Angkasa dan Biru itu dua hal yang tak dapat dipisahkan. Ya, seharusnya begitu. Namun, semesta enggan...