✧ Bab 7: Dua Luka yang Terkoyak.

1.6K 253 61
                                    

Sepasang tungkai itu berdiri kaku setibanya di gerbang pemakaman. Si empu menghela napas pelan bersama atensi yang bergulir ke sudut kanan lahan pemakaman, menatap tiga orang pemuda lain yang masih dapat dijangkau oleh matanya.

"Lang, lo ngga papa?"

Pemuda berambut blonde itu, Biru, menatap sang sahabatㅡArdan yang berdiri di sisinya. Lama ia terdiam, hingga akhirnya tetes demi tetes air dari langit dengan gencar mulai menjatuhkan diri.

"Lang, ke mobil aja dul—" Kalimat Ardan terputus. Tangannya yang menarik lengan Biru juga terhenti kala tubuh sang empu justru membatu, tak bergerak barang seinci pun dari tempatnya berpijak. Padahal, hujan turun kian lebat.

Ardan bisa lihat, sepasang mata yang terlihat lelah itu mengedip pelan. Lalu, tanpa berucap sepatah kata, Biru justru melangkah menjauh darinya.

"Lang?"

Yang dipanggil menuli. Langkahnya gontai. Tubuhnya terasa amat ringan hingga hampir melayang kala menuju makam basah yang sempat ia amati. Makam mama.

Semakin terkikisnya jarak dengan makam itu, semakin Biru merasa sesak. Dadanya bak ditekan kuat-kuat. Hujan yang menerpa pucuk kepalanya tak lagi terasa dingin, sebab hatinya terasa luar biasa panas akibat diisi oleh banyak sekali energi negatif. Marah, sedih, kecewa, semuanya bergumul jadi satu.

Lalu, laju tungkai Biru terhenti tatkala ia tiba tepat di sisi lain makam. Mata sayunya memandangi pemuda yang bersimpuh di samping makam mama, dengan raung pilu yang melebur bersama gemercik hujan.

Biru lihat bagaimana kepala pemuda itu perlahan mendongak, hingga atensi mereka bersirobok.

"A-bang?"

Biru lihat bagaimana pemuda itu lekas berdiri, terlihat amat terkejut saat memandanginya. 'Abang' yang baru saja Biru dengar itu cukup untuk membuktikan bahwasanya pemuda yang memanggilnya adalah seseorang yang dulu amat ia sayangi. Sebab, hanya satu orang yang memanggilnya demikian.

"Abang ..."

Biru juga lihat, bagaimana mata yang memerah itu memancarkan begitu banyak lara. Suara yang melantun amat serak itu membuat Biru tau, betapa pilunya hati pemuda yang memanggilnya 'abang' itu.

"Abang ..."

Lagi, panggilan itu mengudara. Biru lihat. Biru dengar. Namun, tak berniat membalasnya. Membiarkan sapaan yang telah lama tak menyapanya itu hilang ditelan udara.

"Abang ... Maaf, mama ... meninggal."

Biru sungguh tak tau bagaimana perasaannya saat ini. Kebencian yang memenuhi dasar hatinya terlalu sulit untuk digambarkan dan dikeluarkan. Akan tetapi, satu yang pasti. Setetes air matanya kontan menjatuhkan diri, melebur bersama rinai hujan. Lalu, tanpa menyahut apapun, ia membalik tubuhnya dan berlalu begitu saja tanpa seutas aksara.

"Abang ..."

Suara setengah serak Kasa masih terdengar dalam rungunya, beradu dengan derap langkah sepatunya.

"Abang ..."

'Abang ...'

'Mama ... meninggal.'

JUSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang