✧ Bab 3: Harapan yang Tumbang dan Tumbuh Bersamaan.

1.1K 186 27
                                    

Bahagia Kasa itu ... mama.

***

Mega mendung menjadi pemandangan utama di atas kepala, mengubah sang langit yang biru menjadi kelabu. Suram, sama seperti perasaan Kasa saat ini.

Pemuda pemilik senyum unik itu berdiri tegak dengan punggung yang terlihat begitu rapuh. Pipinya terasa sedikit lengket akibat sisa air mata yang mengering. Matanya redup, nyaris tak ada setitik binar di dalamnya. Tak ada lagi air mata yang menetes dari sana. Kasa hanya menangis saat di ruang jenazah, namun saat keluar, ia segera menghapusnya.

Kasa tak mau mama melihatnya menangis, karena Kasa tau, mama tak pernah suka itu.

"Sa, ayo, gue anter pulang." Ini suara Gio.

Hening. Tak ada jawaban. Bahkan, Kasa belum berbicara sama sekali selama prosesi pemakaman sang mama. Si tampan itu hanya mengerjap lambat, membiarkan semilir angin menggoyang rambutnya ke kanan dan ke kiri dan membuat mata keringnya terasa perih.

"Gimana kalo kamu pulang bareng mas aja? Nanti kita mampir ke kedai es krim dulu, mau ngga?" Dan ini suara Fajar. "Atau kamu mau mampir kemana dulu gitu? Biar mas temenin."

Kasa diam, tak jua menyahut meski telinganya mendengar jelas ucapan Gio dan Fajar barusan. Entah kenapa, makam basah di depannya ini seolah menyedot seluruh atensi yang ia punya.

Fajar melirik Gio, berkomunikasi lewat tatapan guna membantu membujuk Kasa untuk pulang, karena sekarang, tetes demi tetes hujan mulai turun.

"Sa," panggil Gio, "pulang yuk? Nanti lo sakit kalo kehujanan."

Bibir Kasa terkatup rapat, barangkali ada lem tak kasat mata yang merekat di sana. Dalam diam, helaan napas panjang meluncur dari hidung bangirnya, bersama dengan sekembar netra karamel yang terfokus memandangi gundukan tanah tempat sang mama terbaring tanpa nyawa.

Mama, satu-satunya matahari yang Kasa punya telah pergi, meninggalkannya dalam kegelapan abadi tanpa cahaya. Mama, satu-satunya tempat tertinggi Kasa menggantung harapan kini telah tumbang. Mama telah tiada. Lantas, untuk siapa lagi dirinya hidup sekarang?

Kasa menelan saliva kepayahan, terasa ada bongkahan batu besar yang menutup jalan kerongkongannya. Netra elangnya ia pejamkan, meresapi rinai hujan yang jatuh di pucuk kepala. Semakin lama, intensitasnya semakin banyak.

"Sa? Mas anter kamu sama Gio pulang ya? Ini ujannya tambah deres loh," tawar Fajar.

Kasa membuka pejaman, mengembalikan fokus sekembar netranya pada makam sang mama dengan tatapan sarat rindu dan pilu. "Mas Fajar sama Gio pulang aja, Kasa masih mau di sini nemenin mama."

"Sa, lo juga pulang, ya? Besok gue temenin ke sini lagi," bujuk Gio.

Kasa menggeleng pelan. "Mama di sana kesepian ngga ya, Gi?"

"Saㅡ"

"Gi, kalo mama capek, seharusnya mama bilang sama aku, jangan pergi gitu aja. Dan kalo capeknya mama itu aku, seharusnya aku aja yang pergi, bukan mama." Endapan kalimat yang tertahan di tenggorokan Kasa akhirnya terucap.

Fajar menepuk pundak Kasa, tak suka dengan penuturan pemuda itu. "Sa, kenapa ngomongnya gitu?"

"Kalo kuku kita panjang, yang dipotong itu kukunya, Mas, bukan jarinya." Kasa menoleh, menatap tepat di kedua mata Fajar untuk beberapa detik.

Selama ini, Kasa tak pernah menunjukkan sedihnya. Bahkan, saat berada di titik terendah, ia tak pernah mau menampakkan sakitnya. Anak itu selalu ceria, seolah luka yang semesta beri bukan apa-apa baginya. Dan sejauh Fajar mengenal Kasa, ini kali pertama dirinya mendapati binar putus asa menguar dari sekembar mata karamel yang selalu cerah itu.

JUSTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang